Pantulan Kebhinekaan di Desa (3): “Resik Kubur” di Kalikudi

104 views

Kalikudi adalah sebuah desa di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa ini terdiri dari tujuh dusun, empat di antaranya Dusun Pejaten, Semingkir, Gunung Duren, dan Peturusan. Desa Kalikudi mempunyai luas 381 hektare, sepertiganya adalah areal persawahan, dan berpenduduk 8.481 jiwa yang hampir seluruhnya adalah petani sawah. Kalikudi menjadi salah satu desa lumbung padi di Cilacap bagian timur.

Legenda asal-usul Kalikudi terkait dengan Eyang Ditakerta. Masyarakat percaya bahwa Eyang Ditakerta adalah orang yang babat alas desa yang kini bernama Kalikudi.

Advertisements

Ceritanya bermula dari pada zaman Mataram. Seorang bernama Rangga Taun berasal dari Mataram berguru kepada Kiai Pubasari yang merupakan juru kunci Sekar Wijaya Kusuma di Pulau Nusakambangan. Tangga Taun kumudian menikahi putri Kiai Purbasari. Keduanya memiliki dua putra, yakni Cakra Praja dan Rangga Kusuma. Setelah dewasa, Rangga Kusuma kemudian menikahi putri Kiai Nayadipa, Demang Bunton yang kemudian menurunkan Eyang Ditakerta. Eyang inilah yang kemudian babat alas dan mendirikan gubuk di dusun Depok yang saat ini menjadi Kalikudi.

Warga Kalikudi cukup plural dalam beragama. Sebagian besar (5600 orang) adalah Kejawen yang masih berpegang teguh pada adat. Salah seorang dari mereka menyatakan: “Kami Islam, tetapi bukan muslim, karena kami tidak menjalankan syariat, dan kebetulan nenek moyang kami mempunyai ajaran untuk tuntunan hidup bagi keturunan kami.”

Sebagian yang lain adalah Islam santri yang umumnya berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Hubungan antara mereka yang berpegang pada adat dengan yang berafiliasi ke NU kompetitif, bahkan kadangkala tegang, tetapi selalu dapat diselesaikan dengan mengembalikan pada adat-tradisi yang dijaga eksistensinya.

Warga Kalikudi mendirikan paguyuban yang diberi nama Resik Kubur Rasa Sejati (RKRS) yang eksis dan aktivitasnya diikuti oleh setiap warga, baik yang Kejawen maupun yang Islam taat. Pemimpin tertinggi RKRS adalah Bundele Adat yang dalam menjalankan aktivitas spiritualnya memberi kewenangan penuh kepada seorang ”kunci” yang dibantu oleh dua orang, menempati posisi bahu tengen (kanan) dan bahu kiwa (kiri). Struktur ini bersifat tetap dan individu-individu di dalamnya mewariskan posisi kepada keturunan langsung di bawahnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan