Bertahun-tahun kemudian saya bertemu seseorang yang, saat saya masih kanak-kanak, bertugas mengisi jeding. Buah keikhlasannya membuat takjub.
Tak jauh dari rumah saya ada sebuah pondok pesantren. Seperti lazimnya pondok, ada langgar sebagai pusat kegiatan untuk salat dan mengaji. Lalu ada bilik-bilik atau gothakan yang berderet-deret membentuk setengah lingkaran. Dan, tentu saja, ada jeding atau bak mandi besar untuk wudlu atau mandi semua orang.
Yang tak lazim dari pondok ini adalah kiainya. Agar lebih gampang, kita sebut saja ia Mbah Kiai. Di pondok sebesar itu, Mbah Kiai tak pernah mengajar mengaji. Sama sekali. Bahkan, menjadi imam salat pun tidak. Menjadi makmum salat juga tak. Karena itu, yang mengajar mengaji biasanya adalah santri-santri senior. Begitu pula dengan yang menjadi imam salat berjamaah.
Lalu apa yang dilakukan Mbah Kiai? Tak ada. Ia hanya sering terlihat berjalan-jalan atau berkeliling ke sana ke mari. Penampilannya khas: bersarung, dan biasanya hanya mengenakan kaus oblong putih cap lombok, dan bersongkok hitam. Kadang pakai sendal. Kadang nyeker. Malah, tak jarang ia hanya bersarung dan bertelanjang dada, berjalan-jalan sampai agak jauh dari pondoknya.
Jika berpapasan dengan seseorang, dan jika ia berkehendak, ada saja yang ia lakukan atau perintahkan. Misalnya, tiba-tiba ia menghentikan seseorang yang sedang mengayuh sepeda onthel. Orang itu kemudian dimintai uang. Setelah uangnya diterima, orang itu kemudian disuruh memberikannya kepada orang lain lagi. Atau, saat berpapasan dengan seseorang, orang tersebut disuruh bersih-bersih lingkungan pondok, atau disuruh membelikan ini-itu, baik untuk kepentingan pondok atau kebutuhan orang lain —entah orang lain itu butuh atau tidak.
Sudah hampir pasti, tak ada orang di desa saya yang berani menolak permintaan atau perintah Mbah Kiai ini. Kuwalat! Bahkan, banyak orang yang justru merasa senang jika disuruh-suruh atau diminta memberikan sesuatu. Bagi masyarakat desa kami, itu pertanda akan memperoleh barokahnya.