Salah satu bentuk keunikan, dan bisa disebut nilai lebih, yang dimiliki bangsa Indonesia ini adalah kemajemukan yang tumbuh di setiap lapisan masyarakatnya. Kemajemukan yang tumbuh subur ini seperti spidol warna-warni di tangan masyarakatnya, dapat digunakan untuk melukis kerukunan dengan warna yang sejuk atau malah melukis perpecahan yang didominasi warna gelap dan jauh dari kata indah. Tentunya mayoritas, kalau tidak berlebihan dikatakan semua, orang akan lebih suka melihat lukisan yang indah dengan komposisi dan proporsi yang menawan bukan?
Problematika Kemajemukan

Problematika yang timbul dari kemajemukan salah satunya adalah lahirnya mayoritas yang represif dari rahim yang sama dengan minoritas yang tertindas. Ironi ini mewarnai setiap inci panggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok mayoritas yang merasa memilik hak prerogatif ini dapat menjadi sangat berbahaya jika mereka menggunakan kekuatan kuantitatifnya untuk menindas kelompok lain, terutama kelompok-kelompok yang mereka anggap tidak setara dengan mereka dalam hal kuantitas.
Api perpecahan akan mudah sekali tersulut dalam sekam keberagaman karena membawa embel-embel identitas suatu kelompok (agama, etnis, kelompok, dan lain sebagainya) sebagai highlight yang pada realitanya tidak sepenuhnya bersangkut paut dengan konflik yang disuguhkan oleh segelintir kelompok garis keras tersebut. Mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang konflik-konflik yang terjadi di masa silam seperti: konflik antar etnis pribumi dan Tionghoa (1998), konflik agama di Ambon (1999), konflik di Sampit (2001) dan kasus lainnya yang membuat kita mengelus dada dan menghela napas panjang.
Perseteruan yang memasang identitas suatu kelompok sebagai pemicu semangat tentu akan mendapatkan angin segar dari para pendukung. Padahal, sangat mungkin suatu konflik disulut oleh kepentingan suatu pribadi ataupun golongan yang menginginkan simpati dari kelompok yang lebih besar. Disadari atau tidak, itu semua meninggalkan bercak hitam dalam catatan sejarah kita.
Peran Cendikiawan Muslim
Problematika kompleks yang bersemi di lahan kemajemukan ini harus dilihat dari kacamata histori untuk dicari penyebab benang kusutnya. Netralitas yang berkepala dingin dan berlapang dada dapat dengan mudah menemukan titik episentrum tanpa perlu melibatkan tangan besi yang tidak berguna itu. Dari sinilah para cendekiawan muslim mengambil peran mereka sebagai orang yang diberi hikmah oleh Allah. Hal ini selaras dengan Kalam-Nya Yang Maha Suci, yaitu βDia memberikan hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang diberikan hikmah itu maka sungguh dia telah diberikan sesuatu yang banyak. Dan tidak ada yang mengambil pelajaran selain orang- orang yang mendayagunakan akal sehatnya (cendekiawan)β