Sejarah kajian Al-Qur’an di Nusantara dapat ditelusuri sejak masuknya Islam ke Nusantara. Tentu, perkembangan kajian Al-Qur’an di sini sedikit berbeda dari perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya wahyu, termasuk banyak qiraat yang berkembang. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa.
Di Nusantara, proses pemahaman Al-Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Nusantara (dulu: Jawa dan Melayu), baru kemudian dilakukan penafsiran yang lebih luas dan rinci. Bahkan, perhatian kepada qiraat dalam kajian Al-Qur’an baru ditekuni awal abad ke-20, karena sebelumnya para ulama Nusantara berfokus pada keilmuan lainnya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Adapun, Abu Bakar membagi pengajaran Al-Qur’an di Nusantara atas dua metode: Pertama, diberikan di rumah atau langgar. Metode ini dilakukan dengan cara guru membaca dan murid mengikuti bacaan gurunya tersebut sambil lalu melihat dan menunjuk kepada huruf-huruf hijaiyyah yang sedang dibaca.
Setelah itu, murid diminta untuk membaca sendiri secara berulang-ulang yang kemudian bacaan tersebut disetor kepada gurunya. Metode tersebut cukup bagus dan dilakukan secara berturut-turut hingga para murid benar-benar menjadi mahir dalam membaca Al-Qur’an.
Kedua, diberikan di pesantren dan madrasah. Selain dilingkungan pesantren, lingkungan perguruan tinggi pun berpotensi menjadi tempat pengembangan tradisi pembelajaran dan penghafalan qiraat sabah.
Berikut akan dijelaskan secara terperinci mengenai pertumbuhan dan perkembangan serta pola pelestarian ilmu qiraat di Indoensia.
Perkembangan Ilmu Qira’at
Pertumbuhan dan perkembangan ragam qiraat pada masa keemasannya terjadi berbad-abad lampau, dimulai pada abad pertama hingga masa kodifikasi (abad ke-2 H). Lalu pada permulaan abad ke-2 H, Ibnu Mujahid sudah mulai memfokuskan pada qira’at sab’ah.
Masa keemasan selanjutnya adalah era Imam al-Syatibi, yaitu setelah ia menyelesaikan magnum opus-nya Hirz al-Amani yang bahannya diadopsi dari kitab al-Taisir karya Abu ‘Amr al-Dani (w. 444H/1052 M). Tren dan kepopuleran Imam al-Syatibi naik dalam dunia Islam, hingga Ibn al-Jazari pernah berujar, “Hampir dipastikan setiap rumah di daerahnya ditemukan naskah dari kitab ini.”