Pesta demokrasi pun dimulai di tengah pandemi. Pada awal Desember 2020 ini, akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak meskipun wabah Covid-19 belum akan berakhir. Awal September ini, para calon kepala daerah yang akan berkontestasi untuk memperebutkan kursi gubernur atau bupati/wali kota sudah mendaftarkan pencalonan mereka di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Masa kampanye belum juga dimulai, tapi kegaduhan di antara para pengusung dan pendukung sudah terjadi.
Yang menarik, hampir di setiap daerah, penyelenggaraan pilkada mulai melibatkan santri, pesantren, dan kiai dalam beragam bentuk. Di beberapa daerah, seperti di Jember, misalnya, ada seorang kiai pengasuh pondok pesantren besar mendaftarkan diri sebagai calon wakil bupati. Di seberang yang berlawanan, seorang alumnus pesantren tersebut juga mendaftar sebagai calon wakil bupati. Walhasil, si santri akan bertarung melawan kiainya berebut kursi yang sama.
Di beberapa daerah lain, ada kiai, pengasuh pondok pesantren, keluarga kiai/pesantren, dan santri atau jebolan pesantren yang juga turun ke gelanggang, baik untuk berebut kursi gubernur dan wakilnya atau bupati/wali kota dan wakilnya. Jika mengikuti pemberitaan media dalam dua bulan terakhir, terlihat bahwa semakin banyak kaum sarungan atau orang pesantren yang ikut meramaikan pilkada, baik sebagai calon maupun pendukungnya. Mobilisasi politik pun mulai terjadi lebih dini di lingkungan pesantren.
Mobilisasi politik di lingkungan pesantren pasti terjadi ketika ada seorang kiai pengasuh pesantren atau keluarganya atau santri ikut bertarung dalam pilkada. Bentuk mobilisasi politiknya bisa beragam, mulai dari sekadar meminta dukungan suara secara pribadi hingga membentuk kelompok-kelompok massa pendukung.
Dari berbagai pemberitaan media kita tahu, di beberapa daerah telah muncul forum-forum santri atau forum silaturahmi antar-pesantren untuk memberikan dan mengarahkan dukungan kepada calon tertentu. Bahkan, di Jawa Barat, ada pesantren dan pengasuhnya yang secara terang-terangan sudah memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu.
Kecenderungan ini justru mengkhawatirkan. Kenapa? Pesantren adalah institusi pendidikan, dalam hal ini pendidikan agama, dan karena itu keberadaannya harus tetap steril dari kepentingan politik praktis agar fungsinya tidak terganggu. Pun, kiai dan santri sebagai status sosio-religius. Ia juga harus tetap steril dari kepentingan politik praktis agar fungsinya juga tidak terganggu. Dalam konteks pilkada, seharusnya kiai, pesantren, dan santri tidak terlibat dalam mobilisasi dukung-mendukung calon tertentu secara institusional. Artinya, dukungan tetap bisa diberikan tapi secara pribadi, tidak perlu membawa-bawa status sosio-religius santri dan kiai maupun institusi pesantren.