Terkotak-kotaknya masyarakat Islam di Indonesia memang memiliki sejarah yang panjang. Namun, perubahan sosial yang mengitarinya terjadi di depan mata. Salah satu pusat perubahan sekaligus pembeda karakter satu masyarakat muslim dengan lainnya adalah masjid. Masjid memainkan peran penting bagi masyarakat muslim.
Melalui masjidlah kajian, paham, budaya, dan bahkan sikap politik suatu masyarakat terbentuk. Ada dua dimensi utama yang berkaitan soal hubungan masjid dengan perubahan masyarakat.
Pertama adalah soal mimbar, atau jejaring elite masjid beserta jajarannya. Dan kedua, perubahan eksternal. Mereka umumnya berperan sebagai pengurus, ustaz harian, fasilitator ritus kebudayaan (pernikahan, kematian, dll), ataupun penghubung antara institusi religius dengan sipil (camat/RT/RW/dll).
Di wilayah urban, jejaring elite masjid ditentukan oleh keberadaan individu berpengaruh yang tinggal di suatu perumahan. Ada yang awalnya merupakan warga dengan kualitas religius tertentu, kemudian ditokohkan oleh warga perumahan, dan di saat yang sama, kebetulan ia memiliki jejaring religius di luar sehingga memberikan pengaruh pada wilayah tempat tinggalnya.
Jejaring jenis ini biasanya bersifat turun-temurun secara ‘ideologis’. Bila yang bersangkutan wafat, maka jejaringnya akan merasa memiliki tanggjung jawab untuk melestarikan pengaruhnya di masjid tersebut. Tokoh yang wafat umumnya akan diganti oleh karib ataupun anggota jejaringnya yang lebih muda dan telah kenal dengan masyarakat perumahan tadi.
Politik sipil kemudian muncul bila dalam suatu masjid terdapat persaingan pengaruh antar-pengurus ataupun petinggi dari dua atau lebih afiliasi. Namun, masjid sebagai wahana politik sipil masih luput dari kekhawatiran warga karena masih lumrahnya masjid sebagai tempat sakral yang bebas kepentingan menurut orang awam―sekalipun kajian sosiologi ataupun politik telah banyak mengulas soal politisasi agama (meskipun tidak popular).
Kalah menang suatu pengaruh biasanya dapat terlihat dari perubahan masyarakatnya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa wilayah urban menunjukkan peralihan karakter masyarakat: dari yang mulanya ‘biasa’ menjadi bergamis. Peralihan yang paling mendasar mungkin terjadi di kalangan anak-anak, di mana mereka telah dibiasakan untuk bergamis.