Penyair ulung ini namanya Abu Thayyib, tetapi ia lebih dikenal dengan al-Mutanabby. Syair-syairnya jernih, jenius, dan dikemukakan secara jujur. Puisi, baginya, adalah suara hati. Ia hadir karena memang ada, maujud, bukan dihadirkan atau diwujudkan. Tetapi, suara hati yang jujur itu justru menimbulkan malapetaka seperti yang secara persis dialaminya selama menjadi penyair. Karena syair-syairnya yang kritis terhadap kenabian siapa pun, ia dituduh sebagai orang yang mengaku nabi (mutannabi), dipukuli, dilempari batu, dan diusir dari kampung ke kampung. Ia menjadi manusia terusir.
Abu Thayyib sebenarnya tidak seperti Abu Ishaq an-Nasibi yang meragukan kenabian para nabi atau Muhammad Ibu Zakariyya ar-Razi yang menolak seluruh kenabian. Karena, kenabian itu dianggapnya bertentangan dengan asas sangat penting keberadaan manusia yang berbeda dengan hewan. Mengapa harus para nabi yang meski pun mengaku berasal satu sumber, yakni Allah, tetapi saling bersimpangan, kata ar-Razy. Walaupun tidak separah yang dialami al-Mutanabby, mereka pun terkurung oleh bui lahiriah dan intelektual. Justru, yang terakhir inilah yang paling terasa. Seluruh pikiran dan karya tulis mereka sama sekali tertutup oleh kehebatan para ahli fikih dan para qadli yang bermesraan dengan para muluk, penguasa politik, dan negara.
Ini belum termasuk al-Hallaj yang mengakhiri denyut nyawanya di tiang gantungan, Dawud ibn Ali, Ya’kub Bin al-Fadli, dan ratusan lainnya yang terkena tuduhan zindiq di masa khalifah al-Mahdi dan penggantinya, khalifah al-Hadi. Mereka yang dituduh zindiq itu harus mengakhiri hidupnya di depan para hakim seperti Abd Jabar Al-Muntasib, Umar al-Khaluzi, dan Muhammad Abu Isa al-Hamdawaihi.
Kitab sejarah Tarikh al-Thabari, al-Wuzara wa al-Khutob, dan antologi puisi arab terpanjang (6 jilid, 2.401 halaman) al-Aghoni menyebutkan bahwa tuduhan dan penghakiman terhadap kaum zindiq dan penyair itu bukanlah persoalan agama atau ke-zindiqan itu sendiri, tetapi hampir murni persoalan politik. Para khalifah memanfaatkan ke-zindiqan itu sebagai sarana untuk membasmi musuh-musuh atau lawan-lawan politik mereka, terutama dari kalangan Hasyimi.