Hukum Islam sebagaimana dipahami mampu merelevansikan teks wahyu dengan realitas sosial yang ada. Hal ini merupakan bagian dari rahmat Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. Kompleksitas peristiwa yang dewasa ini muncul menuntut para sarjana muslim, bila perlu, untuk senantiasa merekonstruksi hukum-hukum yang dahulu telah ditetapkan oleh para sarjana. Urgensi dari hal ini jelas agar umat tidak terjebak dalam stagnasi hukum Islam.
Kombinasi antara khazanah keilmuan Islam dan ilmu lainnya merupakan satu perangkat untuk memunculkan pembaruan hukum Islam. Sehingga, para sarjana Muslim tidak hanya menguasai basis-basis keislaman, melainkan juga memahami paradigma dalam ilmu-ilmu yang lain.
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta memaknai komposisi ini dengan sebutan ‘integrasi-interkoneksi’. Artinya, keilmuan Islam dengan keilmuan lainnya, khususnya ilmu alam, memiliki keterikatan satu dengan lainnya.
Karena itu, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di masa lalu telah banyak melahirkan para intelek Muslim. Sebut saja, misal, Masdhar Farid Mas’udi, Yudian Wahyudi, dan Amin Abdullah. Mereka merupakan segelintir intelek Muslim alumni UIN Yogyakarta yang berupaya untuk mengintegrasikan dan menginterkoneksikan antara keilmuan Islam dan ilmu umum.
Amin Abdullah mendefinisikan integrasi-interkoneksi yang dimaksud bukan sekadar mencocok-cocokan antardisiplin ilmu, melainkan dibutuhkan kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling memiliki keterhubungan antara berbagai disiplin keilmuan supaya tidak ada pemisah antarilmu atau dikotomis. Karena, setiap bidang keilmuan membutuhkan bidang keilmuan lainnya. Seperti halnya ilmu agama yang membutuhkan ilmu lain untuk memahaminya, karena ilmu dan agama saling terkait dan melengkapi.
Zaman telah berbeda. Minat mahasiswa dalam menekuni khazanah intelektual Islam saat ini telah pudar, bahkan mungkin hilang. Kampus UIN yang dahulu mencetak para pemikir Islam, saat ini tak ubahnya seperti ‘kampus urban’. Urbanisasi UIN di satu sisi positif, karena terbuka terhadap keilmuan umum. Namun, sisi negatifnya adalah mahasiswa alih-alih mampu merekonstruksi diskursus keislaman; mahasiswa yang mampu memahami turats saja bisa dihitung jari.