Masalah terorisme di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Belum lama ini, tepatnya tanggal 16 November 2021 seorang Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ahmad Zain An-Najah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri . Ahmad Zain An-Najah diketahui sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Pada hari yang sama, Densus 88 Antiteror juga menangkap dua orang lain. Keduanya, yaitu Ahmad Farid Okbah, seorang Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia dan Anung Al-Hamat. Menurut konfirmasi dari Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan, ketiganya ditangkap karena terduga masuk dalam jaringan teroris
Berita tersebut memunculkan beragam reaksi. Ada yang menyerahkan sepenuhnya ke lembaga berwenang untuk proses penyelesaiannya. Ada pula yang cukup ekstrem mengehendaki pembubaran MUI. Bagi pengguna twitter tentunya tidak asing dengan tensi tinggi ini hingga menjadi trending.
Untuk MUI sendiri telah mengambil sikap dengan menonaktifkan Ahmad Zain An-Najah sampai ada keputusan hukum dan MUI bertutur bahwa kasus tersebuat merupakan urusan individual dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. Jika pada nantinya terbukti benar, cukup mencenangkan karena jaringan teroris sudah merasuki lembaga strategis nasional. Jika kita beropini secara bebas, bukan tidak mungkin jaringan teroris akan atau telah masuk ke lembaga lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa tidak sedikit kasus terorisme yang telah terjadi di Indonesia. Ada bom Bali di tahun 2002 yang sampai menewaskan 200 korban jiwa, sampai terakhir bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret 2021. Semua lapisan masyarakat berkemungkinan menjadi korban dari teroris. Oleh karena itu hemat penulis setiap individu memiliki kewajiban bersama dalam upaya menekan jaringan teroris ini. Menurut hemat penulis, upaya tersebut harus diawali terlebih dahulu mengenai pemahaman dasar mengenai terorisme. Pemahaman tersebuat bisa kita akses atau temukan dalam landasan yuridis maupun teori-teori yang telah diformulasikan oleh para intelektual.
Salah satu tokoh intelektual yang turut menyumbangkan pemikirannya mengenai terorisme adalah Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur. Proses perjalanan pendidikannya yang dimulai dari pesantren, kemudian belajar di Timur Tengah, dan beberapa tahun di Eropa, ini menghasilkan insight yang unik dalam memberikan pandangan seputar terorisme. Pemikiran Gus Dur mengenai terorisme ini lebih berorientasi kepada rasionalitas dan reinterpretasi terhadap dalil dalam syariat Islam.