Ada hal yang lebih fundamental membahas dunia pesantren selain isu pelecehan dan penganiayaan santri. Yaitu, sistem pembelajaran pondok pesantren. Setidaknya mampu meminimalisir persepsi bahwa pesantren masih menganut asas konservaitisme pendidikan yang dianggap usang dan tidak adaptif terhadap perubahan peradaban.
Kritik tersebut bisa dimaklum ketika beberapa pondok pesantren salaf masih menerapkan aturan ketat mengenai batas penggunaan teknologi seperti gadget, televisi, dan komputer. Sementara era post-modern menghendaki setiap orang mampu menggunakan dan memanfaatkan kemajuan teknologi, bukan hanya untuk mencari sumber informasi, melainkan juga untuk kebutuhan ekonomi.
Namun pihak pondok pesantren punya alasan tersendiri menerapkan aturan ketat pembatasan penggunaan teknologi. Selain mengganggu sistem kegiatan belajar mengajar, teknologi juga rawan disalahgunakan menjadi medium berperilaku maksiat dan mengajarkan kriminalitas. Ada juga budaya pondok pesantren yang menjadi ciri khas salaf tanpa terpengaruh terhadap perkembangan zaman.
Skeptis pada dunia pondok pesantren sedikit berkurang ketika Savic Ali – mantan redaktur NU Online dan Islami.co, yang kali ini menjabat sebagai ketua umum harian PBNU – memberikan pandangan mengenai masa depan pesantren. Setidaknya sudah ada beberapa ponpes yang mulai melek teknologi dengan pemanfaatan aplikasi untuk absensi, administrasi, dan pembayaran digital.
Tentu kita berharap mayoritas pondok pesantren sudah mulai berpikir progresif mengenai tata kelola pondok pesantren agar santri mampu bertahan di tengah arus informasi teknologi yang kian masif di masyarakat. Sehingga tidak ada lagi persepsi miring mengenai pendidikan pondok pesantren yang tertinggal.
Di sisi lain, tokoh-tokoh nahdliyin mulai aktif berdakwah menggunakan metode digital. Memberikan kajian melalui Zoom Meeting, saluran YouTube, hingga live Facebook seperti yang biasa dilakukan Gus Ulil Abshar Abdalla. Transformasi digital memaksa sistem pengajaran pondok pesantren tidak kaku dan terikat ruang-waktu. Semua punya potensi menjadi ustaz dan menjadi santri digital.
Permasalahannya adalah dimensi teknologi tidak menawarkan standarisasi kapabilitas kepakaran seorang tokoh (kiai atau ulama) seperti halnya di pondok pesantren. Belum lagi kebutuhan karomah dan pendidikan karakter yang diterapkan di pesantren. Marwah kiai tetap terjaga di hadapan para santri dengan tetap mengedepankan adab dibandingkan ilmu.