Amar makruf nahi mungkar adalah termasuk salah satu komponen dari sederet ajaran Islam yang harus ditunaikan. Tidak mengherankan, apabila Al-Quran menempatkannya pada posisi cukup strategis. Bahkan, merupakan karakter utama yang harus dimiliki oleh seorang muslim.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat Ali ‘Imran: 104, yaitu:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأْمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ وَيَنهَوْنَ عَنِ المُنكَرِ وَأُولاَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ.
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”.
Dengan demikian, tak ayal jika para ulama menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai sesuatu yang niscaya (wajib) dilakukan oleh kaum muslim.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, menyatakan, amar makruf nahi mungkar adalah tonggak agama terbesar. Ia adalah sesuatu yang penting yang menjadi dasar diutusnya seluruh para nabi. Jika tonggak agama ini diabaikan, mengetahui dan melakukannya dilalaikan, maka kenabian akan sia-sia, agama hancur, kesesatan dan kebodohan akan meluas, kerusakan dan kehancuran akan merata di seantero negeri.
Hanya, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama ihwal hukum amar makruf nahi mungkar tersebut. Ada yang berkata hukumnya fardu ain. Yang lain berkata, fardu kifayah. Tentu perbedaan ini berangkat dari penafsiran tentang kata “minkum” dalam Surat Ali ‘Imran ayat 104 tersebut.
Dari sini bisa dipahami bahwa ketetapan kewajiban amar makruf nahi mungkar tidak menjadi hal yang patut dipersoalkan. Justru dengan sikap ini menunjukkan identitas muslim sebenarnya yang dilandasi dengan nilai-nilai moral yang positif.
Namun, persoalan muncul kemudian ketika perintah tersebut direalisasikan dalam laku hidup sehari-hari. Tak pelak, atas nama perintah amar makruf nahi mungkar seseorang terkadang bertindak gegabah: memunculkan ketegangan, merugikan orang lain, bernuansa kekerasan, teror, mendiskriminasi dan sebagainya.
Alih-alih menjalankan ajaran agama Islam, justru praktiknya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Bahkan, mencoreng wajah Islam yang awalnya membawa rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin), seketika berubah menjadi wajah yang ganas, kasar, dan penuh ketakutan.