Anak itu memandangi sandal jepitnya. Sandal jepit beralas putih, dan bertali biru. Anak itu masih memandangi sandal jepitnya, ada rasa iba terpatri dalam benaknya. Sebab, tampang sandal itu benar-benar tragis. Tak hanya ia, orang-orang yang melihatnya pun akan geleng-geleng kepala berpilu-pilu.
Sandal jepit sederhana dan barangkali berharga murah. Sandal itu sudah tipis tergerus waktu, kumal, dan nyaris putus. Sandal itu memiliki penderitaan, juga kebahagiaan. Derita, sebab tak kunjung dibuang dan hidup tenang. Bahagia, sebab anak itu tampak sangat setia hidup bersama sandal jepit tipis, kumal, dan nyaris putus itu.
“Ramal, ayo cepat! Lama sekali kau berwudhu,” panggil seorang temannya membuyarkan lamunan Ramal pada sepasang sandal yang ia pandangi.
Ia pun bergegas mengambil wudhu. Air mengalir ke beberapa bagian tubuhnya, seolah membersihkan segala dosa kebadungan anak yang baru akil balig. Tapi bukankah anak nakal itu memang sudah biasa, pikir Ramal. Ia tak tahu harus kesal, atau malah berterima kasih, pada sang Bapak. Sang Bapak telah tega membuang ia ke dalam jeruji pondok pesantren.
“Ah, Ramal. Lambat sekali engkau berjalan,” seru temannya lagi. Azan telah berkumandang, tentu mereka tak mau dihukum oleh keamanan pondok sebab datang terlambat. Ramal yang sedari tadi melamun, bergegas menuju teman-teman sepantarannya. Ia berlari kecil, membuat sarungnya agak melambai-lambai seolah diembus angin timuran.
Ia bergabung dengan kawan-kawan. Sembari bersenda gurau, mereka berjalan beriringan tanpa peta menuju rumah Tuhan. Andai aku tak mondok, ucapnya dalam hati. Barangkali, tak kurasakan syahdu perjalanan ini tiap memasuki waktu salat. Dan tak pernah kuberjumpa dengan kawan-kawan berwajah ceria dan sedikit mengesalkan seperti mereka.
Namun, ia juga merindukan kampung halaman, rumah, kawan-kawan di rumah, dan sang Bapak. Ia ingin pulang untuk berjumpa kawan-kawan di rumah, bermain seperti dulu, dan sedikit nakal dengan mencuri mangga tetangga. Ia ingin tahu, seperti apa wajah dan watak kawan-kawan lamanya sekarang.