Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri memiliki sifat tawadhu’ yang sangat luar biasa kepada kiai. Namun, jika dibenturkan dengan pengetahuan empiris, tentu saja hubungan santri dan kiai tersebut akan terkesan vertikal dan sangat feodal. Namun bagi saya, pengetahuan modern tidaklah bisa menampung semua aspek ilmu Allah dan belum bisa menguraikan konsep “berkah” sehingga banyak sekali lelaku santri kepada kiainya yang disalahartikan dan terkesan dipaksakan untuk memenuhi ruang ilmu modern.
Ngalap berkah, pasti santri mengetahui betapa berharganya “perlombaan” itu. Santri rela berlari-larian untuk merebut kopi kiai yang masih tersisa di gelas. Santri rela sikut-sikutan untuk mendapatkan sisa air putih dari gelas kiai. Santri juga rela berdesak-desakan untuk mencium tangan kiai dan berlama-lama memegang tangan kiai. Ada apa sebenarnya dengan pendidikan pesantren ini, kok kelihatannya berbeda dengan penuntut ilmu modern. Sepertinya ada ruang kosong yang tidak dimiliki penuntut ilmu modern yang jauh dari budaya luhur ini.
Ngalap berkah, atau mencari berkah, memang dari perlombaan untuk mencari berkah yang sudah saya sebutkan tadi terkesan seperti “merepotkan diri sendiri”. Untuk apa harus saling mendahului dan rela mengeluarkan tenaga hanya untuk meminum sisa minuman kiai dari gelas atau hanya untuk mencium tangan kiai? Bagi kaum kontemporer dan sekuler, mungkin hal itu adalah hal yang aneh. Namun perlu kita ketahui bahwasannya ngalap berkah adalah fenomena budaya Timur yang sanadnya juga tersambung ke sahabat radhiallahu ’anhu.
Budaya di pesantren memang bukan sekadar menuntut ilmu, melainkan budaya memupuk dan menghidupkan lelaku yang siap untuk menghadapi jagat raya dengan sifat yang rahmatan lil ‘alamin. Sifat tawadhu’ kepada guru atau kiai adalah kemutlakan dan merupakan sebuah adab. Apakah kita pernah mendengar tentang kisah Sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid, yang pada saat perang ia menjatuhkan topi perangnya. Lalu ia merasa tidak konsentrasi dengan peperangan dan mengutuskan prajurit untuk mencari topi itu. Prajurit yang bingung itu kemudian bertanya, “Apa istimewanya topi itu sehingga engkau tetap berusaha mencarinya?”