Post truth merupakan era yang ditandai dengan kesimpangsiuran informasi di mana kebenaran menjadi hal yang sangat sulit diidentifikasi. Banyak orang menggunakan informasi-informasi justru untuk menciptakan kebenaran subjekitf yang bertujuan untuk membela kelompok mereka masing-masing. Hal ini berdampak kepada penghakiman bahkan kriminalisasi kelompok yang dianggap berseberangan dengannya.
Kehadiran post truth dikarenakan beberapa kondisi yang ada di masyarakat saat ini, seperti pesatnya perkembangan teknologi. Dengan perkembangan teknologi, masyarakat merasa nyaman dengan berbagai macam informasi yang diproduksi dan diterima atau dapat dipilih. Selain itu, ketika pesan di media menjadi sesuatu yang memiliki sensasi yang tinggi dan spektakuler, hal seperti ini yang menyuburkan post truth.
Menurut Ibnu Hamad, profesor ilmu komunikasi FISIP Universitas Indonesia, post truth merupakan wacana pada umumnya, yang pembentukannya melibatkan tiga elemen penting pembentukan wacana. Pertama, framing atau seleksi muatan wacana, baik dalam aspek masalah atau tema, situasi atau waktu, atribusi atau karakter, argumen atau alibi, alur cerita maupun risiko dan tanggung jawab.
Kedua, signing atau pemilihan tanda (sign) dalam bentuk kata, istilah, gambar, simbol, frasa slogan, termasuk dalam urutan, ukuran, tipe, dan warna. Dalam wacana post truth, tanda bahasa lebih dari sebatas mewakili realitas, tetapi justru mengkonstruksi realitas.
Ketiga, priming atau penonjolan, yaitu wacana itu sebisa mungkin sampai ke audien melalui langkah-langkah secara simultan; memperbesar peluang untuk diakses (opportunity to acces/OTA), peluang untuk dibaca (opportunity to read/OTR), peluang untuk diingat (opportunity to memorize/OTM), dan peluang untuk dibagi (opportunity to share/OTS).
Santri di Era Post Truth
Sebagai penerus ulama, santri diharapkan sebagai tonggak untuk pembawa estafet kebenaran di masa yang akan datang. Disebabkan hal ini, dalam dunia pesantren, santri tidak cukup dibekali dengan keilmuan agama, melainkan juga life skill (kecakapan hidup) dan akhlak. Ini merupakan sebuah proses pendidikan kemanusiaan yang lebih sempurna, seperti halnya investasi SDM jangka panjang yang berasaskan akhlakul karimah dan berlabel keindonesiaan.