Siapa yang paling kuat makan di dunia ini? “Tukang gergaji dan santri!”
Begitulah canda serang kiai. Alasannya? Lihat saja, tukang gergaji jika selesai bekerja, sebakul nasi pasti dihabiskan sendiri. Kalau santri? Kerjanya “cuma” bangun, tidur, ngaji… tapi makannya bisa 2-3 piring. Itu pun masih sanggup nambah. Apalagi kalau si santri biasa mengergaji!
Memang, yang paling enak dan indah adalah menjadi santri. Kesehariannya muroja’ah al-Quran berpasang-pasangan. Nashrif bareng-bareng. Setoran lancar tak lancar banyak temen. Jika lapar melanda, nasi campur garam-kecap pun tak jadi soal, yang penting dapat menambah amunisi. Ketika perut sudah terisi, pikiran tak berlari-lari mencari nasi. Punya masalah? Tinggal sharing ke teman kobong. Sabun dan odol abis, masih ada punya teman.
Indah rasanya. Tak banyak ambisi. Tak banyak keinginan.
Siapa sesungguhnya santri? KH Hasyim di Pondok Pesantren az-Zahra, Kabupaten Jepara, pernah menjelaskan, kata santri berasal dari lima huruf Arab: sin, yaitu salik fil ibadah (tekun dalam beribadah); na’ibun ani syuyukh (penerus para sesepuh); ta’, ta’ibun ‘ani dzunub (tobat dari kesalahan-kesalahan); raghibun fil khoirot (senang dengan kebaikan); dan yaqin ‘ala man ‘an ‘amalahu ma’ah (yakin rezeki sudah ada yang mengatur).
Seperti lazimnya lembaga pendidikan, umumnya pondok pesantren juga menentukan soal iuran untuk biaya bangunan, listrik, makanan. Namun, berbeda dengan Pesantren Dar el-Fikr, terletak di Desa Serua, Depok, Jawa Barat, yang notabene dekat dengan Ibu Kota. Setiap santri yang hendak masuk ke pesantren ini pasti terkaget-kaget karena tidak ada uang gedung, uang listrik, bahkan makan pun santri pun ditanggung kiai dan bu nyai. Semuanya. ”Lho, kok kang mas di sini ga bayar?” tanya calon santri kepada pengurus pondok.
“Nggih, di sini Pak Kiai dan Bu Nyai tidak narif sepeser pun bila masuk pondok?” jawab pengurus.