Umumnya, materi sejarah Indonesia yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal menyimpulkan bahwa bebasnya Ibu Pertiwi dari belenggu penjajahan semata-mata hanya berkat perjuangan rakyat sipil, tanpa sedikit pun menyinggung kata “santri” di dalamnya. Padahal, sejarah secara faktual membuktikan bahwa sebagian besar figur yang menjadi motor penggerak untuk memberontak terhadap kolonialisme adalah para ulama atau tokoh agama, yang tak lain sejatinya adalah juga seorang santri.
Perlu diingat, jauh sebelum ada politik etis yang disebut-sebut sebagai cikal bakal bangkitnya pendidikan nasional, seperti dibangunnya HIS (Hollandsch Indlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs), AMS (Algemeene Middlebare School), Kweek School, santri sudah hidup di lingkungan pesantren. Bahkan, pesantren sudah menjadi pusat pembelajaran dan pelestari kebudayaan Nusantara yang tidak kalah eksis dengan sekolah buatan Belanda. Namun, lagi-lagi, sejarah tidak menyorot secara mendalam eksistensi pendidikan di pesantren kala itu.
Ada lagi bukti perjuangan dari para santri yang jarang sekali diketahui. Yakni, perjuangan di perang Surabaya. Sejarah hanya menulis itu tentang perjuangan para rakyat Surabaya. Padahal, di balik itu ada peran besar santri di dalamnya. Peristiwa itu adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 (18 hari sebelum perang besar meletus) oleh pimpinan ulama dan santri, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asya’ari. Pada saat itu, beliau menyeru adanya hukum fadhu ain untuk setiap masyarakat yang tinggal dalam radius 94 kilometer dan fardhu kifayah bagi masyarakat yang tinggal di luar radius luar 94 kilometer. Resolusi Jihad inilah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo dan semua santri untuk menggempur pasukan sekutu. Dari sinilah kemudian 10 November 1945 dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Nah, sampai uraian ini sangat jelas, histori santri yang memiliki peran atau prestasi yang sangat pretisius untuk bangsa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dedikasi dan kredibilitas santri untuk negeri ini sudah ada bahkan sejak zaman kolonialisme Belanda.
Bergeser ke zaman setelah kemerdekaan, kredibilitas santri dalam menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat sudah tidak dapat dimungkiri lagi. Kalau kita mengacu pada pendapat KH Makruf Amin yang mengatakan bahwa santri adalah orang yang ikut kiai, entah ia belajar di pesantren atau tidak, bisa membaca kitab kuning atau tidak. Yang penting dia manut kiai, ikut perjuangan kiai, itu adalah santri. Maka dari itu, presiden pertama kita pun adalah seorang santri. Karena menurut beberapa informasi, beliau pernah nyantri di KH Ahmad Dahlan.