Ketika menyusuri daerah pesisir utara Pulau Jawa, kita akan disajikan berbagai budaya khas kawasan Pantai Utara (Pantura), yang kebetulan salah satu daerahnya adalah Kabupaten Pati di Jawa Tengah. Pati memiliki identitas yang terkenal, yakni daerah yang dijuluki “Kota Seribu Dukun”. Dari julukan itu kemudian banyak melahirkan ruang-ruang unik untuk dikulik, mulai dari ketoprak (budaya khas Pantura sejenis wayang wong), tari-tarian tayub, dangdut koplo, sampai keunikan masyarakatnya.
Mengiringi sejarah perkembangan Pati adalah cerita tentang seorang tokoh yang dikenal dengan nama Saridin atau Syekh Jangkung. Kisah tokoh yang juga disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawa ini hidup pada medio abad ke-16. Banyak hal menarik yang bisa dikaji secara intens tentang kisah Saridin ini.
Jika mengacu pada pembabakan Tutur Tinular yang ada, Saridin disebut-sebut sebagai putra salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Muria (dari istri Dewi Samaran). Sehingga, lingkup kehidupan beliau masih dalam skup yang sama bersama para wali-wali masyhur Tanah Jawa. Namun, dalam kondisi saat itu, Saridin memiliki posisi yang berbeda. Beliau bisa dikategorisasikan sebagai “wali marjinal”, yang kesaktiannya di luar batas nalar normal para sakti saat itu: kehidupan mbalelo (menentang arus) dan habitus di luar pakem.
Konon ketika Saridin masih di usia balita, beliau dilarung di kali (kisah ini yang menjadi mula habit di luar pakem beliau), sampailah timbul skeptisme apakah benar Saridin ini adalah darah daging Sunan Muria dan Dewi Samaran? Meskipun kredibilitas data ini masih perlu diklarifikasi lagi, namun prelude ini sudah menjadi pakem popular cerita-cerita ketoprak di daerah Pati.
Terlepas dari relativitas kebenaran cerita tersebut, jauh pada sebuah perjalanan yang cukup panjang, tersebutlah tokoh bernama Branjung dari Desa Miyono, yang menyelamatkan serta merawat bayi Saridin sampai beranjak dewasa dan lantas mendakunya sebagai saudara. Saridin dewasa adalah seorang yang haus akan ilmu, sehingga memiliki kebiasaan hidup mblayang (berpetualang). Saridin pun bertemu dengan guru sejatinya, yakni Syeh Malaya, yang tak lain dan tak bukan adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin menikah dengan seorang perempuan yang terkenal di masyarakat dengan sebutan ‘Mbok’e Momok’ (Ibunya Momok), lantaran mereka berhasi memiliki seorang putra yang diberi nama Momok.