“Jangan! Jangan kau ungkit-ungkit lagi (sejarah) masa lalu itu! Jika membuka-buka masa lalu, kau akan kehilangan sebelah matamu.”
Akan tetapi, “Jika melupakan masa lalu, kau akan kehilangan kedua belah matamu.”
Itu kutipan dari peraih Nobel Sastra asal Rusia, Aleksandr I Solzhenitsyn, dalam bukunya yang sangat monumental: The Gulag Archipelago 1918-1956. Kutipan itu ada dalam pengantarnya, bukan pada isi bukunya yang memang menelanjangi sejarah kelam Rusia (Soviet) di bawah ketidakturan dan kegilaan Stalin. Tapi Gulag bukan buku sejarah, melainkan kesaksian suatu peristiwa yang akan menjadi sejarah.
Melalui kutipan itu, yang disebutnya berasal dari pepatah Rusia, Solzhenitsyn seakan mengingatkan bahwa sejarah seringkali menempatkan kita, orang-orang yang hidup lama setelahnya, dalam posisi yang sulit, dilematis, terpojok. Membuka lembaran-lembaran lama akan membuat kita kehilangan sebelah mata. Melupakannya membuat kita buta.
Itu karena sejarah tak selalu hadir sesuai dengan apa yang diharapkan atau dipikirkan banyak orang. Seringkali ia justru menyakitkan. Apalagi jika benar bahwa, konon ini ungkapan dari Winston Churchill, sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.
Pada masa-masa sulit, di mana orang saling tak percaya dan kehilangan respek, sejarah selalu menjadi perkara yang sangat sensitif. Itulah kenapa, ketika baru-baru ini ada rumor pemerintah Indonesia akan melakukan penyederhanaan kurikulum pendidikan sejarah di sekolah-sekolah, orang ramai malah memperdebatkan hal yang bukan-bukan: buku-buku sejarah akan dibuang ke tong sampah; pendidikan sejarah tak lagi diajarkan di sekolah. Dan kita, sebagai bangsa, akan kehilangan sejarah.
Pokok soal yang substansial sebenarnya bukan itu. Kita seringkali tidak adil memperlakukan sejarah, ketika sejarah dibaca dari kaca mata waktu yang berbeda, ketika sejarah tidak (lagi) sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan bayangkan, dan ketika sejarah tidak (lagi) sesuai dengan masa depan yang kita rencanakan.
Contoh kecilnya adalah kekonyolan seperti ini: Cut Nyak Dhien, pahlawan nasional dari Aceh yang dalam buku-buku sejarah digambarkan mengenakan pakaian tradisional dengan rambut disanggul (bun top knot) dianggap sebagai penyesatan. Padahal, sebagai muslimah yang taat, Cut Nyak Dhien (dibayangkan) selalu berhijab. Orang lupa bahwa di zaman itu belum dikenal hijab, jilbab, atau cadar.
Mantab nian, opini yg sangat mendalam tentang sejarah!