Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam yang telah lahir semenjak berabad-abad yang lalu. Disebutkan bahwa di era Walisongo, yaitu Syekh Malik Ibrahim, adalah ulama yang pertama kali mendirikan pesantren (Bashori, 2017). Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa pesantren telah ada semenjak agama Islam datang ke Indonesia. Meski begitu, pesantren pada awal mulanya masih sangat sederhana, baik dari bentuk fisik bangunan maupun kurikulumnya.
Jika melihat latar belakang dan asal usul berdirinya pesantren, setidaknya terdapat dua versi untuk menjelaskannya. Pertama, pesantren berasal dari tradisi asli Islam sebagai pengaruh pada pendidikan kaum sufi. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Azra yang menyatakan bahwa dakwah Islam di Indonesia mulanya akrab dengan bentuk kegiatan tarekat. Kedua, versi yang menyatakan bahwa pesantren merupakan penerus dari sistem pendidikan pada tradisi Hindu-Budha yang telah diislamkan (Satria, 2019)
Istilah pondok pesantren diidentifikasi berasal dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Pondok berasal dari bahasa arab funduq yang memiliki arti rumah penginapan atau asrama. Sementara, pesantren berasal dari bahasa sanskerta “santri” atau “shastri”, yang memiliki arti orang yang mendalami berbagai ilmu (Bashori, 2017) Dengan begitu, pondok pesantren merupakan asrama atau tempat yang digunakan oleh para santri untuk memperdalam berbagai ilmu, khususnya keagamaan.
Pesantren setidaknya mempunyai lima elemen dasar, yaitu pondok (asrama), masjid, santri, kiai, dan kitab klasik. Kitab klasik merupakan elemen penting dalam pengkajian keilmuan di pesantren. Pengkajian terhadap Kitab klasik (kuning) menunjukkan adanya orisinalitas pendidikan keislaman di pesantren. Kitab kuning menjadi simbol pengajaran pesantren yang bersanad (transmisi) keilmuan hingga Rasulullah. Di dalamnya membahas berbagai macam fan (cabang) keilmuan, seperti fikih, tasawuf, gramatika arab, dan lain sebagainya.
Sebagai lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat ke berbagai wilayah Nusantara hingga saat ini. Bahkan, sejak era kolonialisme, tepatnya pada tahun 1862, jumlah santri di Jawa tercatat telah mencapai 94.000 orang. Jumlah itu terus bertambah hingga lebih dari 162.000 pada satu dekade berikutnya. Pemerintah kolonial melaporkan setidaknya terdapat 11.000 pesantren dengan total keseluruhan melebihi angka 272.000 santri di daerah Jawa pada tahun 1893 (Riklefs, 2008).