Di tulisan lalu, saya membahas bagaimana Islam bisa mewarnai perubahan sosial di suatu negara―tentu dengan konteks dinamika di masing-masing negara. Sama halnya dengan tulisan kemarin, tulisan ini merupakan catatan pendek di masa kerja saya sebagai ‘pembantu’ persiapan seminar internasional yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat di tanggal 25-27 Januari kemarin.
Tugas saya dalam persiapan ini cukup sederhana, yakni mendata organisasi-organisasi Islam di berbagai negara, khususnya negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Minor; menulis surat undangan kepada narasumber dan tugas-tugas administratif lain.
Namun, hal menarik muncul saat proses pencarian nama-nama organisasi Islam regional tadi. Tidak ada andalan utama selain Google dan beberapa kontak kenalan di beberapa kawasan regional. Pencarian ini mengantarkan penulis pada panorama masyarakat Islam yang selama ini tak terbayang dalam imaji umat Islam di Indonesia.
Di Indonesia, Islam di kenal melalui pembagian ormas ataupun mazhab. Pada derajat tertentu, Islam juga bisa dikategorisasi berdasarkan ideologi. Sederhananya, ada Islam pro-pembangunan yang membuka diri pada budaya dan gaya hidup kapitalistik, dan ada juga yang anti-kapitalis. Yang belakangan disebut, umumnya dirujukkan pada gerakan-gerakan progresif, baik yang terkonsolidasi seperti FNKSDA, ataupun yang cair seperti di tubuh-tubuh HMI dan PMII.
Identifikasi yang lebih purba, mungkin akan merujuk pada komunisme di masa lalu, di mana orang Islam bisa bersimpati pada gagasan-gagasan Marxis. Sebagian kelompok sayap kanan masa kini secara ekstrem menyebut mereka sebagai ‘kafir’ dan sejenisnya, semata karena ide-ide Marxisme yang konon menihilkan peran Tuhan, sambil merawat isu ini sebagai ‘hantu musiman’.
Di masa lalu, Anda bisa menjadi seorang muslim sekaligus komunis secara bersamaan. Tapi itu mustahil untuk saat ini karena berbagai faktor, khususnya faktor keselamatan dari ancaman agresi religius orang sekitar ataupun ketidak-sukaan politis dari elite politik.
Panorama masyarakat muslim Indonesia abad ke-21 lebih diwarnai oleh semangat pro-pasar, khususnya perihal gaya hidup yang pada derajat tertentu punya kontribusi signifikan pada naiknya kesalehan sosial. Gairah ini bisa Anda rasakan ketika memasuki masjid urban, pusat perbelanjaan di waktu bulan Ramadhan, atau saat selebrasi hari raya. Ada batas yang kabur antara penghayatan asketis dan laku konsumeris di ruang-ruang dan interaksi itu.