Jadi santri ndalem bukanlah sesuatu yang mudah. Harus cekatan, sigap dan bertanggung jawab. Khidmah dengan jalan ini ngeri-ngeri sedap. Ngerinya, harus rela korban waktu, mental, dan fisik. Pasalnya jadi santri ndalem kalau dipikir-pikir ya capek. Capek banget malah. Tapi sedap, kebarokahan yang kita dapat tentu berbeda dengan santri umumnya. Kedekatan kita dengan Pak Kiai dan Bu Nyai juga tentu beda.
Menjadi santri ndalem punya penyeleksian yang berbeda setiap pondok. Ada yang dites interview-interview -atau lebih tepatnya ditanya-tanya saja sebagai formalitas, ada yang tes ketanggapan dan kemampuan bidang yang cocok, bahkan ada yang di training dulu hampir-hampir idol kpop hehe. Wajar saja, karena menjadi santri ndalem tidak boleh sembarang.
Tapi, tak sedikit juga pondok-pondok yang langsung menerima santri yang ingin menjadi santri ndalem. Asal bersedia, punya tekad, niat yang bagus, langsung join. Seperti pondok tempat Silfi menuntut ilmu. Siapa santri yang ingin menjadi santri ndalem, tinggal bilang ke senior di sana, nanti diarahkan di bidang apa, beres.
Begitu juga Silfi. Ia ingin sekali berkhidmah dengan jalur ini. Menurutnya kalau tidak sekarang, kapan lagi ia bisa begitu dekat dengan Pak Kiai dan Bu Nyai nya. Kapan lagi ia ngalap berkah seperti ini. Tapi kesan pertama Silfi menjadi “mbak ndalem” tak semulus proses masuknya. Baru hari pertama saja ia sudah keliru.
“Sil, kamu jaga dapur dulu ya. Kayanya belum ada kerjaan serius saat ini,” ucap mbak senior, santri ndalem yang bertugas di dapur.