Ibuku dan ibumu adalah ibu kita, ibu semua orang. Jika ada seseorang menyakiti ibumu, orang lain akan teringat ibunya dan merasa tersakiti.
Sesungguhnya, ketika dari rahim seorang ibu keluar jabang bayi, sejatinya ia tak sekadar mengeluarkan orok, segumpal darah, segumpal daging, tapi ia juga melahirkan kehidupan. Kehidupan baru. Maka, seorang ibu sejatinya adalah ibu kandung dari setiap kehidupan. Maka, menyakiti seorang ibu sejatinya adalah menyakiti setiap kehidupan. Itulah kenapa seorang ibu bisa menjadi ibu semua orang.
Maka, dalam setiap kehidupan, yang memiliki kedudukan tertinggi dan istimewa adalah seorang ibu. Begitu tingginya kedudukan seorang ibu, sampai ada sebuah hadis yang menganalogikan bahwa surga saja berada di bawah telapak kaki ibu.
Ketika seorang Sahabat bertanya siapa orang pertama yang harus dihormati, Nabi Muhammad menjawab, “Ibumu” hingga tiga kali, baru kemudian “Bapakmu.” Kita, sebagai anak-anaknya, bahkan dilarang sekadar melengos dan berkata “ah!” terutama kepada ibu. Tak ada yang boleh menyakiti hati seorang ibu. Tuhan saja begitu gemati menjaga hati seorang ibu.
Itulah kenapa, di semua tradisi masyarakat bangsa-bangsa yang menghuni Bumi ini, kemuliaan dan kehormatan seorang ibu dijaga dengan sepenuh hati, sebegitu rupa. Bahkan nyawa pun dipertaruhkan demi kehormatan seorang ibu. Perang tiba-tiba saja bisa meledak, atau orang-orang bisa saling membunuh, ketika kehormatan seorang ibu diusik.
Tradisi memuliakan dan menjaga kehormatan seorang ibu itu tidak hanya ada pada masyarakat masa lalu. Pada masyarakat bangsa-bangsa yang sudah sedemikian maju, modern, bahkan liberalis pun tradisi menjaga kehormatan seorang ibu tetap hidup. Seseorang bisa saja masih bisa menerima dengan lapang dada ketika dirinya sendiri direndahkan, dilecehkan, atau dinista. Tapi ketika kehormatan ibunya (atau saudara perempuannya) yang diusik, urusannya menjadi lain.
Itulah, misalnya, yang terjadi pada Zinedine Zidane di partai final Piala Dunia 2006. Ia rela kehilangan apa yang diimpi-impikan semua pesepak bola dengan menanduk dada Marco Materazzi ketika ibu dan saudara perempuannya dilecehkan. Zidane diusir dari lapangan dan Prancis gagal menjuarai Piala Dunia. Zidane tak pernah menyesali perbuatannya —dan hanya meminta maaf kepada anak-anak karena telah mempertontonkan kekerasan di mata dunia.