Saya termasuk mahasiswa Sosiologi Agama yang seringkali kelimpungan memilih paradigma pada tugas penelitian yang diberikan dosen. Saya merasa, teori-teori ilmu sosial yang ada dan saya pelajari dalam perkuliahan –kebanyakan berasal dari ilmuwan Barat- tidak cukup bisa secara sempurna menjelaskan fenomena sosial di Indonesia yang biasa diteliti mahasiswa seperti saya.
Memang kalau dipaksakan, fenomena sosial yang diteliti berdasar teori-teori itu, dapat dijelaskan dalam hasil penelitian. Namun, menurut saya, masih banyak hal yang terlewati dalam penjelasan berdasarkan paradigma teori-teori ilmuwan barat tersebut.
Cara kerja peneliti ilmu sosial kurang lebih membaca terlebih dahulu kronologi dalam teori ilmu sosial tertentu, kemudian mencocokkanya dengan data-data dalam fenomena sosial yang diteliti. Peneliti kemudian menyusun penjelasan fenomena sosial itu lewat kronologi teori-teori sosial yang ada, yang sebenarnya disusun berdasarkan fenomena sosial di tempat dan waktu yang lain, dengan kemungkinan perbedaan variabel yang jauh sekali.
Prinsip penggunaan teori dalam penelitian memanglah prinsip deduksi, dan itu secara mudah bisa kita terima dalam ilmu alam. Tapi bagaimana dengan kajian dalam ilmu sosial yang lebih dinamis?
Menerapkan teori relativitas atau hukum Newton pada banyak gaya suatu benda, misalnya, meskipun lokasi benda itu terbentang jaraknya antara ujung dunia dengan ujung lainnya, angka yang didapatkan akan relatif sama.
Tapi bagaimana dengan menerapkan teorinya Durkheim soal totemisme di tempat dan waktu yang berbeda? Apakah bisa diterapkan untuk melihat realitas animisme di Jawa, misalnya, secara sempurna? Sebab benda di berbagai penjuru dunia merupakan benda mati dan relatif statis, tapi kebudayaan atau manusia yang dikaji dalam ilmu sosial itu dinamis (Jujun S. Suriasumantri, 2015).
Untuk itu, diperlukan indigenisasi atau kontektualisasi ilmu-ilmu sosial dengan langkah yang lebih elaboratif. Para ilmuwan sosial kita jangan lagi menjadi apa yang disebut Ngatawi El-Zastrouw sebagai “pemulung” teori-teori sosiologi yang dikonstruksi oleh para intelektual Barat. Mereka mengambil teori-teori tersebut apa adanya, kemudian berusaha menerapkan atau menggunakannya sebagai metode dan alat analisis terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia, sebagaimana yang sudah digelisahkan sejak lama oleh Selo Sumardjan dan Kuntowijoyo (Nahdlatul Islam Nusantara: hal. 92, 2020).