Mendengar nama Lirboyo, orang akan langsung mengingat salah satu pesantren besar dengan sistem salafnya di wilayah Selatan Jawa Timur. Meski pada perkembangannya ada banyak sekali unit pondok di dalamnya, tetapi orang masih lebih sering menyebutkan Pondok Lirboyo daripada menyebutkan nama unit pesantrennya. Pesantren Lirboyo sendiri sekarang disebut sebagai Pondok Induk.
Pada mulanya, Lirboyo adalah nama salah satu desa yang berada di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Desa ini dahulu terkenal wingit dan sangat rawan terjadi tindakan kriminal dan perilaku amoral. Ki Lurah Lirboyo kemudian sowan kepada Kiai Sholeh di Besa Banjarmlati dan memohon kepada beliau untuk berkenan menempatkan salah satu santrinya di Desa Lirboyo agar dapat membimbing masyarakat menjadi lebih bermoral.
Kiai Sholeh akhirnya menempatkan salah satu menantunya, KH Abdul Karim (nama kecil beliau adalah Manab) untuk menetap di Desa Lirboyo. Setelah tiga puluh lima hari menetap, KH Abdul Karim pun mendirikan sebuah surau kecil yang terbuat dari bambu. Surau inilah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo.
Buku berjudul Tiga Tokoh Lirboyo ini mengisahkan perjalanan tiga pilar penting pendiri sekaligus penerus Pesantren Lirboyo. Pertama, kisah Kiai Abdul Karim, sang founding father, dengan kesederhananaan dan keteguhannya dalam menuntut ilmu. Kedua, Kai Marzuqi Dahlan, dengan kesufian dan kezuhudannnya. Ketiga, KH Mahrus Aly, dengan jejak perjuangannya.
Meski datang dengan cerita yang berbeda, kisah yang dituliskan dalam buku ini memiliki kesamaan yang istimewa. Ketiganya merupakan orang alim, sederhana, dan teguh.
KH Abdul Karim
KH Abdul Karim merupakan putra ketiga dari pasangan Abdur Rohim dan Salamah yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Abdul Karim kecil memiliki cita-cita mengikuti tindak lampah ulama setelah mengetahui kharisma ulama pengikut Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi’i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas, dan Kiai Mlangi dari Sleman.
Pada 1870, bersama kakaknya, Aliman, ia berangkat menuju Jawa Timur untuk memenuhi keinginannya. Jawa Timur dipilih karena konon banyak ulama yang menyingkir ke daerah tersebut. Mereka singgah di Babadan, sebuah dusun di Gurah, Kediri, kemudian belajar di sebuah surau yang diasuh seorang kiai.