Pada akhir Januari lalu, penulis diundang untuk mengisi ceramah dalam acara Wisuda Khataman Qur’an yang dilenggarakan Pesantren Jam’yatul Mubtadin, Cibayawak, Malingping, Banten. Pesantren ini merupakan pesantren qur’an yang didirkan oleh KH Subaetah. Sejak didirikan pada 1990-an, pesantren ini sudah banyak melahirkan qari dan qariah yang menjadi juara nasional maupun internasional.
Bermula dari pendidikan baca Al-Qur’an, saat ini Pesantren Jam’iyatul Mubtadin telah berkembang hingga memiliki lembaga pendidikan mulai tingkat TK sampai Aliyah. Ada sekitar 600-an santri mondok di pesantren yang diasuh oleh Ajengan Acep Badruttaman ini. Meski telah berkembang menjadi sekolah formal, namun tradisi pengajaran baca qur’an tetap dipertahankan. Bahkan, ada tradisi unik yang dilakukan saat upacara Wisuda Khatmil Qur’an di Pesantren Jam’iyatul Mubtadin ini, yaitu tradisi menyawer uang kepada santri yang diwisuda khatam qur’an.
Tradisi khataman qur’an di berbagai daerah ini telah menjadi objek penelitian beberapa peneliti, di antaranya Saefudin Zuhri meneliti tradisi khataman qur’an masyarakat Mandar, Sulawesi Selatan yang dikenal dengan tradisi Mesawe di Sayyang Pattuqduq to Tamma”; La Ode Anhusadar dan Nurjannah meneliti tradisi khataman qur’an di Kraton Buton yang dikenal dengan Ritual Pamolo’a; Ahmad Supriyadi dan Nor Faridatunnisa yang meneliti uacara khataman qur’an pada suku Dayak Bakumbai di Kalimantan Tengah yang dikenal dengan tradisi Bataman, dan beberapa peneliiti lain.