Sudah seminggu ini sejak Trimo melakukan serah terima jabatan dengan Kaji Patah. Simbolisnya berupa kata “goblok” dan disaksikan oleh jemaah pengajian yang datang dari bebagai penjuru Magelang. Digoreng oleh berbagai media di seluruh negeri, tokoh-tokoh yang ingin menguatkan pengaruh buru-buru mendatangi kediaman Trimo. Apapun yang dikira mengesankan, mulai dari tiket umrah, modal usaha, hingga sapi, mengalir tak henti-hentinya ke kediaman Trimo. Dengan itu, memikul baki yang diisi oleh bergelas-gelas es teh tidak lagi menjadi pekerjaan yang relevan. Trimo tetap melakukannya sesekali hanya untuk mengisi waktu luang dan mengistikamahkan kesederhanaan.
“Pak Modin, kira-kira untuk apa sebaiknya harta yang tak berhenti mengalir ini?” tanya Trimo suatu hari saat sowan kepada guru ngaji semasa kecilnya itu. “Awalnya memang senang mendapatkannya, tapi lama kelamaan bingung juga mengelolanya.”
“Dendam masa kecil, Mo. Apa yang dulu tidak bisa kau lakukan saat tidak punya uang, lakukanlah sekarang!”
Rupanya Pak Modin memang seseorang yang terlampau bijak. Ia tidak secara terang-terangan menyampaikan amar ma’ruf apa yang harus dilakukan karena dirinya sangat tahu tipe dendam seperti apa yang dipendam Trimo sejak masa kecilnya yang terjerat kemiskinan.
Dan begitulah awal mula kampung yang didiami Trimo menjadi semakmur sekarang. Dendam masa kecilnya untuk bersedekah kepada orang lain berhasil dibayar tuntas. Dan seperti seorang remaja yang mengisap rokok untuk pertama kali, ia kecanduan dibuatnya.
“Kalau tidak ada ‘goblok-goblok’ pada tempo hari, mungkin aku sedang kerja panas-panasan di sawah sekarang,” kata seorang keponakan Trimo yang baru lulus SMA. Sekarang, ia sedang menempuh pendidikan di Akpol untuk memenuhi impiannya menjadi polisi. Suatu cita-cita yang kerap kali dicemooh oleh semua orang yang pernah mendengarnya karena kemiskinan dan kenakalannya.