MONOLITH
Hebat
Tiang utuh
Menjulang di gigir langit
Suram
Sebuah bukit
Terbentuk dari satu batu
Oleh tangan beku
Sebuah
Monolith
Lingga
God!
(Subagio Sastrowardojo, Simphoni, hal. 11)
Dalam puisi ini, Subagio Sastrowardojo benar-benar sukses membangun sebuah citraan visual. Dari judulnya saja, kita dapat membayangkan sebuah benda besar, tinggi, menjulang, sebagai sebuah tiang langit yang kokoh. Sebentuk tugu yang memberikan visualisasi nyata akan sebuah bangunan. Secara makna bahasa, monolit(h) adalah sebuah bongkahan batu besar yang seringkali berbentuk pilar atau tugu (KBBI Edisi IV, Departemen Pendidikan Nasional, hal. 927).
Sebagai penyair yang sudah tidak asing lagi, Subagio ingin membangun citraan visual, sekaligus citraan termal (rabaan) bahwa “monolith” adalah sebuah pelambang/simbol dari sebuah kekuatan yang Maha Hebat. Tugu adalah lambang keperkasaan, simbol ketangguhan, dan makna kejayaan. Di dalam puisi ini sarat dengan makna “hakikat Tuhan”, sebagaimana disebutkan oleh Prof Dr Suminto A Sayuti, di dalam bukunya Berkenalan Dengan Puisi.
“Hebat/ Tiang utuh/ Menjulang di gigir langit.” kata, frase, dan kalimat ini telah sangat jelas dan gamblang membangun sebuah artikulasi makna hakikat Tuhan. “Hebat” begitu mewakili sifat Tuhan sebagai Zat Yang Maha Kuasa. “Tiang utuh,” adalah sebuah makna semiosis, berkonotasi pada sebuah benda yang menyangga benda lainnya. Sebagai “tiang” yang berasosiasi dengan kata “utuh” adalah sebentuk bangunan klausa yang memiliki makna erat antara satu dan lainnya. “Tiang” juga sebagai sebab dari terbentuknya sebuah bangunan. Jika tiang rapuh, maka sebuah bangun akan menjadi hancur, berantakan, dan musnah. Namun, tiang yang dimaksud oleh Subagio adalah sebuah nilai kuasa, Yang Maha, yang hanya dipunyai oleh Tuhan Yang Maha Esa.