Islam Nusantara memiliki page rank yang lebih besar dari kata Islam sendiri di dalam mesin perambah Google. Ini menunjukkan banyaknya pencarian orang terhadap istilah tersebut. Artinya, istilah Islam Nusantara telah menjadi satu tema pembahasan yang sangat menarik bagi banyak orang.
Demikian disampaikan Mahmud Syaltout, pengajar di Sekolah Diplomasi Paramadina dalam Webinar Seri Perdebatan Akademik 2 yang diselenggarakan Subdit Penelitin, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI.
Webinar ini hasil kerja sama dengan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNISIA)Jakarta. Webinar yang dilaksanakan pada Rabu (17/7) ini merupakan rangkaian dari Simposium Internasional yang bertemakan “Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jaringan Intelektual dan Spiritual di Jalur Rempah”. Simposium Internasional ini akan digelar pada 30-31 Agustus 20021, juga atas kerja sama Fakultas Islam Nusantara (FIN) UNUSIA dengan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.
Menurut Ngatawi AL-Zastrouw, Ketua Panitia Simposium, Seri Perdebatan Akandemik secara online ini akan laksanakan secara berkala sampai berlangsungnya even Simposium Internasional, yang disebut Road to Symosium Internasional.
Serial Debat Akademik kali ini mengambil tema “Islam Nusantara: Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Post-Kolonial.” Selain Mahmud Syaltout, pemabicara lain yang hadir dalam kegiatan ini adalah Main Mudzakir (Peneliti LIPI), Masdar Hilmy (Guru besar dari UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Tengku Kemal Pasya (dosen Universitas Malikus Saleh, Lokh Sumawe, Aceh).
“Meskipun IN menjadi wacana yang menarik diperbincangkan, namun IN juga memiliki banyak PR, karena data yang menunjukkan wacana ini kebanyakan hanya diakses oleh negara-negara lower middle income, negara yang menengah dan cenderung miskin,” demikian penjelasan Syatuth lebih lanajut.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir menyampaikan bahwa Islam Nusantara umumnya lebih menggunakan paradigma kultural, sehingga tidak lebih luas, dan terbatas pada soal-soal yang lebih sempit. Karenanya, Islam Nusantara perlu mengkaji ruang-ruang yang belum terbuka, termasuk ruang-ruang politis. Menurut Amin, selama ini Islam Nusantara secara tidak sadar hanya berbicara sektarianisme dan radikalisme tanpa melihat konteks yang lebih luas.