Sering menjadi perdebatan, di antara aktualisasi khazanah keilmuan Islam, mana yang lebih relevan, yang klasik, turats atau kontemporer?
Namun, berangkat dari persepsi teman-teman saya, saya menemukan hal yang menarik untuk diulas. Ada dua pandangan terkait hal tersebut.

Pertama, yang cocok dengan kondisi dan situasi kita pada saat ini ialah orang yang hidup pada zaman ini. Dengan demikian, otomatis pendapat dan pandangan yang dianggap hanyalah pendapat dan pandangan orang yang hidup pada zaman ini. Toh, antara ulama salaf dan ulama khalaf, yang dulu atau yang sekarang sama-sama manusia, sama-sama berpotensi melakukan kesalahan.
Kedua, turats secara tekstual sudah tidak memadai atau relevan untuk dibuat hujjah karena tidak valid dan konkret. Perlu diketahui, penulis pribadi tidak bermaksud menyinggung kelompok atau individu tertentu. Namun hanya ingin sedikit memberikan pandangan pribadi penulis dalam bentuk tulisan.
Turats secara bahasa berarti pusaka, kemudian dipakai sebagai istilah bagi peninggalan atau warisan ulama terdahulu, baik yang berupa naskah maupun sudah menjadi buku. Sedangkan, kontemporer menurut KBBI adalah masa yang sama, masa kini atau pada masa sekarang. Kalau diterapkan pada sebuah buku, artinya buku yang membahas isu-isu terkini yang dialami masyarakat masa kini.
Sebetulnya, antara turats atau kontemporer itu cuman terkait waktu, sedangkan esensinya yang jika ditarik benang merah dari keduanya nanti akan muncul satu illat yang sama ketika mampu memahaminya.
Karena itu dapat dikatakan bahwa memang turats yang sudah tidak relevan, atau seseorang yang tidak bisa mengeksplorasi makna dari kitab turats.
Sebuah contoh sederhananya begini. Di zaman baginda Nabi Muhammad Saw tidak adanya pelarangan minum Jack Daniels, Vodka, dan sejenisnya. Namun, terdapat pelarangan untuk meminum setiap sesuatu yang memabukkan.
Oleh karena itu, entah apapun itu namanya, ada atau tidaknya di zaman Nabi, semuanya bisa dikiaskan. Khamr era baginda Nabi dengan khamr era sekarang tetap haram. Bukankah syariat yang dibawa nabi merupakan rahmatan lil ‘alamin, yakni tidak dibatasi oleh sekat-sekat dalam bentuk suku atau bangsa dan waktu. Atau, bisa disebut ajaran-ajaran Islam adalah ajaran yang kosmopolit.