Menggali Khazanah Islam, Antara yang Klasik dan Kontemporer

10 views

Sering menjadi perdebatan, di antara aktualisasi khazanah keilmuan Islam, mana yang lebih relevan, yang klasik, turats atau kontemporer?

Namun, berangkat dari persepsi teman-teman saya, saya menemukan hal yang menarik untuk diulas. Ada dua pandangan terkait hal tersebut.

Advertisements

Pertama, yang cocok dengan kondisi dan situasi kita pada saat ini ialah orang yang hidup pada zaman ini. Dengan demikian, otomatis pendapat dan pandangan yang dianggap hanyalah pendapat dan pandangan orang yang hidup pada zaman ini. Toh, antara ulama salaf dan ulama khalaf, yang dulu atau yang sekarang sama-sama manusia, sama-sama berpotensi melakukan kesalahan.

Kedua, turats secara tekstual sudah tidak memadai atau relevan untuk dibuat hujjah karena tidak valid dan konkret. Perlu diketahui, penulis pribadi tidak bermaksud menyinggung kelompok atau individu tertentu. Namun hanya ingin sedikit memberikan pandangan pribadi penulis dalam bentuk tulisan.

Turats secara bahasa berarti pusaka, kemudian dipakai sebagai istilah bagi peninggalan atau warisan ulama terdahulu, baik yang berupa naskah maupun sudah menjadi buku. Sedangkan, kontemporer menurut KBBI adalah masa yang sama, masa kini atau pada masa sekarang. Kalau diterapkan pada sebuah buku, artinya buku yang membahas isu-isu terkini yang dialami masyarakat masa kini.

Sebetulnya, antara turats atau kontemporer itu cuman terkait waktu, sedangkan esensinya yang jika ditarik benang merah dari keduanya nanti akan muncul satu illat yang sama ketika mampu memahaminya.

Karena itu dapat dikatakan bahwa memang turats yang sudah tidak relevan, atau seseorang yang tidak bisa mengeksplorasi makna dari kitab turats.

Sebuah contoh sederhananya begini.  Di zaman baginda Nabi Muhammad Saw tidak adanya pelarangan minum Jack Daniels, Vodka, dan sejenisnya. Namun, terdapat pelarangan untuk meminum setiap sesuatu yang memabukkan.

Oleh karena itu, entah apapun itu namanya, ada atau tidaknya di zaman Nabi, semuanya bisa dikiaskan. Khamr era baginda Nabi dengan khamr era sekarang tetap haram. Bukankah syariat yang dibawa nabi merupakan rahmatan lil ‘alamin, yakni tidak dibatasi oleh sekat-sekat dalam bentuk suku atau bangsa dan waktu. Atau, bisa disebut ajaran-ajaran Islam adalah ajaran yang kosmopolit.

Benar kita sepakat bahwa khamr merupakan hal-hal yang wajib diketahui di dalam agama secara pasti (al-ma’lum min ad-din bi ad-dhoruroh). Oleh karenanya tidak realistis jika dibuat contoh untuk sebuah kiasan. Tapi contoh tersebut hanya sebuah gambaran pertama untuk gambaran-gambaran berikutnya.

Seiring berkembangnya zaman, banyak pemikir-pemikir Islam yang menemukan fenomena baru dengan hukum yang sedikit berbeda (bukan nyeleweng), sehingga menjadi isu kontemporer. Di antaranya adalah monogami dan poligami, aborsi, perkawinan pria non-muslim dan wanita muslimah, bayi tabung, dan lain sebagainya.

Semua permasalahan kontemporer tersebut sebetulnya sudah diperbincangkan sejak dulu kala, hanya saja dengan literatur yang lebih umum. Misalnya, poligami dan monogami. Dalam isu ini, Imam Fakhruddin ar-Razi, yang bukan ulama kontemporer, telah membahasnya secara detail ketika menafsirkan QS an-Nisa’ ayat 3. Beliau mengatakan bahwa idealisme pernikahan itu monogami. Istinbath dari ayat tersebut bukan untuk anjuran, namun untuk pernyataan sebuah kebolehan. (Tafsir Mafatih al-Ghoib karya Imam Fakhruddin ar-Razi)

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh ulama kontemporer ‘Abdu Nasir Taufiq al-Atthar di dalam kitabnya Ta’addud az-Zaujat min an-Nawahi ad-Diniyyah wa al-Ijtima’iyyah wa al-Qonuniyah. Beliau mengatakan bahwa tidak ada dalih yang kuat dalam poligami selain mencari kesenangan yang dibalut dengan anjuran agama.

Pada intinya, eksistensi kitab klasik turats berpengaruh pada kemunculan kitab modern kontemporer. Alias, kitab-kitab kontemporer yang kita baca saat ini sumbernya dari kitab turats. Maka sangat ambigu rasanya jika seseorang mengambil ide dengan meniadakan sumber ide tersebut. Syekh Hassan Hanafi menyatakan turats adalah wasilah atau sarana, sedangkan modern adalah hasil atau maksud.

Kefanatikan seseorang terhadap suatu hal biasanya timbul dari kesempitannya dalam menilai sesuatu. Oleh karena itu Mbah Moen sering kali menuturkan dalam ngajinya “العالم ان يكون عارفا بزمانه” (Orang pintar itu orang yang bisa menyesuaikan situasi sesuai zamannya). Beliau mewanti-wanti para santri agar tak mudah fanatik kepada sesuatu dan tetap moderat menyikapi perkembangan zaman.

Bagaimana menyikapi perkembangan zaman, ungkapan Kahlil Gibran ini patut dijadikan renungan: “Orang-orang optimis melihat bunga mawar, bukan durinya. Orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya.”

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan