Pertanyaan yang paling membuat Zainudin resah dalam hidupnya selama ini adalah hal yang berkaitan dengan statusnya yang masih lajang. “Kapan menikah?” yang kadang ditambahi nasihat-nasihat yang menurutnya sudah basi adalah pertanyaan yang kerap menerornya. Pertanyaan serupa menyerbu dari berbagai penjuru, seperti “Eling umur, segera menikah! Tunggu apa lagi? Tunggu dunia kiamat?” “Menikah itu untuk menjauhkan diri dari zina, segeralah…” “Nggak usah bingung, takut nggak ada modal. Allah pasti akan menurunkan rezekinya.”
Selain nasihat, Zain juga kerap mendapatkan beberapa ledekan karena statusnya itu. “Sudah kepala tiga, kenapa nggak menikah? Tidak laku?” “Menikah kok nunggu mapan, mapan itu ya di kasur. Atau jangan-jangan kamu kelainan, Zain?” Semprul! “Kenapa nggak segera nikah? Ada gangguan kesehatan di anggota tubuhmu?”
Kadang Zain merasa pertanyaan dan ledekan teman-temannya sudah kelewatan. Kepala Zain cenut-cenut dengan rentetan teror tersebut. Biasanya Zain menggerutu, “Siapa yang tak ingin menikah? Siapa yang tak ingin berumah tangga? Aku manusia normal! Tidak perlu grusa–grusu. Memang apa urusanmu! Apakah mungkin, kamu yang memberi susu atau pampers untuk anakku nanti! Aku memang belum siap untuk saat ini. Itu saja!”
Qurratu Al-Uyun karya Syekh Muhammad Tahami Ibnu Madani telah dipelajarinya, meski singkat ketika nyantri di pondok dulu. Kini, Zain yang sudah lulus dari Stikes, sudah tidak lagi nyantri. Sekarang, Zain bergelut dengan pekerjaannya menjadi perawat di Rumah Sakit. Maka, teori kitab itu menunggu untuk diimplementasikan dalam kehidupannya, yang nyata tapi dengan jodoh yang masih maya.
Zain menyibukkan diri, asik dan khusyuk dengan pekerjaannya. Ikhwal jodoh, tentu Allah sudah menggariskan di lauhul mahfudz. Dia akan menemukan pasangannya besok, awal September, beberapa tahun lagi, setelah purnama kedua belas, entah kapan. Zain menyerahkan semua pada Allah di bawah bayang-bayang pertanyaan yang kerap menghampiri: “Kapan menikah?”
Berguguran daun pertanda pergantian iklim. Suara jangkrik musim kering berganti dengan lantunan orkestra kodok di musim hujan. Daun putri malu masih malu mengatup terkena rangsang. Air kelapa masih saja terasa manis. Siulan burung gunung dan burung dalam sangkar terasa sama, tiada beda. Zain khusyuk menikmati tiap mantra dan keajaiban alam. Semakin sadar, hati harus diisi, tulang rusuk yang hilang harus ditemukan. Senyum manis tiap pagi, pertama kali ingin ia lihat dari bidadari pilihan. Usapan hangat menjelang lelap malam, ingin ia rasakan. Dan, cerita pun harus berganti.