Abad Baru NU: dari Tradisionalis ke Moderatis

104 views

Sekilas, judul tulisan ini akan merujuk pada terjadinya perubahan di dalam diri Nahdlatul Ulama (NU) dari tradisionalisme ke moderatisme. Senyatanya tidak. Sebab, transformasi seperti itu memang tidak ada, paling tidak selama seabad terakhir sejak NU berdiri. Judul tulisan ini justru untuk menggambarkan adanya perubahan pandangan dari luar terhadap NU. NU yang dulu dicap sebagai tradisionalis, kini justru dipandang sebagai moderatis, yang paling moderat bahkan.

Pergeseran pandangan terhadap NU ini bukan terutama disebabkan oleh transformasi di dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh spektrum dunia yang telah berubah. Karena spektrum dunia telah berubah, berubah pula bagaimana orang memandang NU. Saat ini, misalnya, meskipun stigma tradisionalis terhadap NU belum benar-benar pupus, namun sebutan moderatis mulai lebih sering terdengar yang dialamatkan kepadanya.

Advertisements

NU memperoleh stigma sebagai tradisionalis itu sejak begitu dini, dan bukan tanpa alasan. Ketika NU berdiri pada 31 Janauari 1926, dunia memang sedang memeluk agama baru yang disebut modernitas (modernity). Dunia mulai dilanda apa yang ketika itu disebut modernisasi. Segala sesuatu diukur dan dipandang dari kaca mata modernitas yang ditentukan oleh Barat, dalam hal ini adalah Eropa dan Amerika Serikat. Dunia kemudian bergemuruh berlomba-lomba menjadi modern, melalui proses modernisasi, baik dalam wilayah-wilayah sosio-politik maupun sosio-keagamaan. Tapi tidak dengan NU. Ia justru lahir untuk nguri-nguri tradisi, merawat tradisi, dan karena itu dicap sebagai tradisionalis yang dipandang sebelah mata.

Bisa dipastikan, ketika jamiyah ini didirikan, tak ada pretensi dari para tokoh yang membidani kelahirannya agar kelak menjadi tradisionalis, atau modernis, atau moderatis, atau atribusi lain yang akan disandangkan kepadanya. NU hanya ingin menjaga keajekan paham dan praktik keagamaan ahlusunnah wal jamaah dan meneruskan metode dakwah yang diwarisi dari ulama terdahulu, terutama dari Wali Songo yang memanfaatkan tradisi dan budaya masyarakat sebagai media dakwah.

Kategori Dikotomis

Pada dekade-dekade itu hingga awal masa kemerdekaan, banyak Indonesianis dari berbagai kawasan seperti Eropa, Amerika, dan Asia melakukan studi di wilayah Nusantara. Karena mayoritas penduduk memeluk Islam, maka salah satu fokus studi mereka adalah tentang keislaman di Nusantara. Sebut saja yang paling popular, misalnya, Cristian Snouck Hurgronje, PJ Zoutmulder, Clifford Geertz, Herry J Benda, Benedict Anderson, James LPeacock, atau Mitsuo Nakamura. Semua kajian dilakukan dari sudut pandang modernisme Barat.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan