Sekilas, judul tulisan ini akan merujuk pada terjadinya perubahan di dalam diri Nahdlatul Ulama (NU) dari tradisionalisme ke moderatisme. Senyatanya tidak. Sebab, transformasi seperti itu memang tidak ada, paling tidak selama seabad terakhir sejak NU berdiri. Judul tulisan ini justru untuk menggambarkan adanya perubahan pandangan dari luar terhadap NU. NU yang dulu dicap sebagai tradisionalis, kini justru dipandang sebagai moderatis, yang paling moderat bahkan.
Pergeseran pandangan terhadap NU ini bukan terutama disebabkan oleh transformasi di dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh spektrum dunia yang telah berubah. Karena spektrum dunia telah berubah, berubah pula bagaimana orang memandang NU. Saat ini, misalnya, meskipun stigma tradisionalis terhadap NU belum benar-benar pupus, namun sebutan moderatis mulai lebih sering terdengar yang dialamatkan kepadanya.
NU memperoleh stigma sebagai tradisionalis itu sejak begitu dini, dan bukan tanpa alasan. Ketika NU berdiri pada 31 Janauari 1926, dunia memang sedang memeluk agama baru yang disebut modernitas (modernity). Dunia mulai dilanda apa yang ketika itu disebut modernisasi. Segala sesuatu diukur dan dipandang dari kaca mata modernitas yang ditentukan oleh Barat, dalam hal ini adalah Eropa dan Amerika Serikat. Dunia kemudian bergemuruh berlomba-lomba menjadi modern, melalui proses modernisasi, baik dalam wilayah-wilayah sosio-politik maupun sosio-keagamaan. Tapi tidak dengan NU. Ia justru lahir untuk nguri-nguri tradisi, merawat tradisi, dan karena itu dicap sebagai tradisionalis yang dipandang sebelah mata.
Bisa dipastikan, ketika jamiyah ini didirikan, tak ada pretensi dari para tokoh yang membidani kelahirannya agar kelak menjadi tradisionalis, atau modernis, atau moderatis, atau atribusi lain yang akan disandangkan kepadanya. NU hanya ingin menjaga keajekan paham dan praktik keagamaan ahlusunnah wal jamaah dan meneruskan metode dakwah yang diwarisi dari ulama terdahulu, terutama dari Wali Songo yang memanfaatkan tradisi dan budaya masyarakat sebagai media dakwah.
Kategori Dikotomis
Pada dekade-dekade itu hingga awal masa kemerdekaan, banyak Indonesianis dari berbagai kawasan seperti Eropa, Amerika, dan Asia melakukan studi di wilayah Nusantara. Karena mayoritas penduduk memeluk Islam, maka salah satu fokus studi mereka adalah tentang keislaman di Nusantara. Sebut saja yang paling popular, misalnya, Cristian Snouck Hurgronje, PJ Zoutmulder, Clifford Geertz, Herry J Benda, Benedict Anderson, James LPeacock, atau Mitsuo Nakamura. Semua kajian dilakukan dari sudut pandang modernisme Barat.
Atas dasar itu, keragaman dinamika Islam di Nusantara ini kemudian dipilah-pilah ke dalam kategorisasi dikotomis menjadi Islam modernis dan Islam tradisionalis. Teropong para Indonesianis itu kemudian juga diikuti sarjana-sarjana dari Indonesia sendiri. Salah satunya adalah Deliar Noer dengan karyanya The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Buku yang telah menjadi klasik dan memiliki pengaruh besar ini diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1973, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 yang diterbitkan oleh LP3ES pada 1980.
Secara simplistis, atribut Islam modernis, misalnya, dialamatkan pada Muhammadiyah, Persis, dan sebangsanya. Sedangkan, dengan cara yang sama, Islam tradisionalis disandangkan ke bahu NU atau nahdliyin, masyarakat muslim yang mengikuti paham dan praktik keagamaan ala NU. Ada beberapa latar kenapa NU distigma sebagai tradisionalis.
Pertama, dari latar paham dan pemikiran keagamaan. NU dicap tradisionalis karena secara ketat mengikuti mazhab empat, terutama Syafiiyah, di saat terjadi gelombang pasang purifikasi atau pembaruan pemikiran keagamaan dengan jargon kembali pada Qur’an dan Hadis. Turunan dari stigma ini cukup banyak. Misalnya, NU dianggap hanya bisa taqlid (buta) atau mengekor pendapat ulama terdahulu dan menutup pintu ijtihad. Dengan itu, dalam paham dan pemikiran keagamaan, kaum nahdliyin dianggap kaku, jumud, statis, dan anti terhadap pemikiran-pemikiran baru, anti terhadap kemodernan.
Kedua, model pendidikan keagamaan. NU dicap tradisionalis karena justru dianggap melanggengkan model pendidikan tradisional sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Contoh kasarnya adalah pondok pesantren. Di dalam pondok pesantren itu pun yang utama diajarkan adalah turats atau kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu. Ini berbeda dengan kecenderungan kelompok-kelompok Islam modernis yang getol mendirikan sekolah-sekolah modern dengan mengadopsi sistem pembelajaran dari Barat, seperti yang dilakukan Muhammadiyah atau Persis.
Ketiga, praktik dan amalan keagamaan. NU dicap tradisionalis karena praktik dan amalan keagamaannya dianggap mengadoptasi tradisi lokal. Meskipun, apa yang dilakukan NU ini berdasarkah kaidah mengambil yang lama (tradisi) yang baik, namun dari kaca mata modernis dianggap sinkretis dengan konsekuensi bidah dan syirik.
Keempat, basis massa dan dukungan. NU dicap tradisionalis karena mayoritas anggota dan pengikutnya adalah masyarakat perdesaan dan basisnya adalah orang-orang pesantren yang juga berpusar di perdesaan. Karena itu, hampir di sepanjang abad pertamanya, warga nahdliyin distigma dengan sebutan kaum sarungan, yang dimaknai sebagai simbol ketertinggalan, kemunduran, tidak intelek, kolot, dan anti kemodernan.
Seluruh latar dari kategorisasi dikotomis itu seakan terangkum sepenuhnya dalam pernyataan antropolog James L Peacock ketika menyimpulkan NU sebagai Islam tradisionalis seperti ini: “Garuklah kulit orang Jawa Islam, maka Anda akan mendapati Hinduisme…” Atau dalam sebuah pernyataan yang pernah ditulis oleh Mitsuo Nakamura, yang kemudian ia menyesalinya, disimpulkan bahwa NU itu secara intlektual tidak canggih, yang secara politik oportunis, dan yang secara kultural sinkretik.
Stigma Islam tradisionalis yang disandangkan kepada NU itu bukanlah atribusi yang tanpa konsekuensi. Hampir sepanjang abad pertamanya, sangat tidak mudah bagi NU untuk mengembangkan diri. Sebab, keberagamaan NU dianggap tidak cocok dengan zaman modern. Karena itu keberadaannya banyak ditentang.
Tentangan pertama tentu datang dari para pengusung modernisme Islam, pembaruan Islam, atau purifikasi agama, misalnya, yang menganggap keberagamaan orang-orang NU atau warga nahdliyin belum sempurna dan karena itu harus “disempurnakan” atau dikembalikan pada kemurniannya. Kepada warga nahdliyin inilah seringkali tudingan bidah, syirik, dan sesat dialamatkan.
Tentangan lain datang dari para agen pembangunan ala Barat alias modernisasi. Terutama di masa Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dekade, meskipun memiliki basis massa yang sangat besar, NU tergolong sebagai komunitas yang hanya dipandang sebelah mata, terpinggirkan, dan tidak menjadi bagian penting dari gerbong modernisasi atau program pembangunan yang dicanangkan Orde Baru. Bahkan, ada masanya NU justru dianggap sebagai batu sandungan bagi proses modernisasi di masa Orde Baru. Karena itu, misalnya, selama masa Orde Baru, NU banyak menemui hambatan untuk mengembangkan diri, seperti di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan.
Abad Moderatisme
NU benar-benar menemukan momentum kebangkitannya setelah Orde Baru runtuh, pasca-reformasi 1998, ketika spektrum dunia juga berubah, ketika modernisme telah dianggap lampau, ketika diskursus post-modernisme atau post-kolonialisme juga mulai lampau, ketika disrupsi mengguncang dunia ke arah yang tak pasti.
Dunia kini seakan baru sadar, bahwa yang paling adaptif, elastis, dan tahan terhadap guncangan disrupsi global ternyata adalah paham dan praktik keagamaan yang selama ini dijalankan dan dicontohkan oleh NU, oleh warga nahdliyin. Di saat yang sama, kebangkitan agama, atau lebih pas disebut kelompok-kelompok berbasis agama, yang dulu disebut sebagai modernis, pembaharu, puritan, murni, kini justru dianggap sebagai bagian dari ancaman global karena di belakangnya membonceng apa yang disebut radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Atau, paling tidak mereka inilah yang paling mudah diintrusi oleh radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Dalam dekade-dekade terakhir, maraknya bom-bom bunuh diri di berbagai negara yang mengatasnamakan agama lalu kekacauan, konflik, dan perang di negara-negara muslim Timur Tengah yang tak berkesudahan, misalnya, menjadi bukti bahwa paham keagamaan mereka menjadi bagian dari ancaman global. Di tengah disrupsi global itu, dunia tiba-tiba menolah ke NU, memandang warga nahdliyin dengan sebutan baru: moderatis. Nyaris tak ada lagi sebutan (resmi) tradisionalis dialamatkan ke NU. Kalaupun masih ada, mungkin dengan agak sedikit malu buru-buru menambahkan frase: yang moderatis.
Ya, di tengah disrupsi global saat ini, NU menjadi satu-satunya organisasi massa berbasis keagamaan terbesar di dunia, yang paham dan praktik keagamaannya tetap berakar kuat pada tradisi namun sekaligus paling terbuka dan moderat dalam menerima perbedaan, keragaman, dan perubahan. Dan itu bukan sikap yang baru dari NU. Sebab, dari awal berdirinya, NU sudah berpegang pada tiga prinsip dasar, yaitu tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) dalam beragama.
Akhirnya, sikap itulah yang ditunjukkan dalam seluruh rangkaian puncak resepsi peringatan satu abad kelahiran NU di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 7 Februari 2023, termasuk, yang paling tegas, adalah penolakannya terhadap cita-cita mendirikan sistem khilafah di Indonesia. Ketika NU secara resmi sudah menegaskan penolakannya, maka “diskursus” tentang khilafah di Indonesia harus dianggap selesai. Tugas NU pada abad barunya ini adalah menyebarkan paham dan praktik keagamaannya yang moderat, toleran, dan seimbang di kancah global agar dunia terhindar dari salah satu ancaman seriusnya, yaitu radikalisme, ekstremisme, dan terorisme atas nama agama. Itulah jalan untuk membangun peradaban baru.