Abah Mutawally, Kiai Kharismatik dari Kuningan

713 views

Kiai Mutawally atau lebih akrab disebut Abah Mutawally merupakan sosok ulama terkenal yang mempunyai ilmu kanuragan dan ilmu hikmah yang tinggi. Abah Mutawally merupakan ulama asal Kuningan, Jawa Barat, yang cukup terkenal, tetapi tidak banyak yang mengangkatnya dalam sebuah kajian intelektual pada masanya.

Terdapat sumber data yang menyatakan bahwa kelahiran Abah Mutawally ini pada awal abad ke-19. Sumber ini sangat autentik dan kemungkinan besar Abah Mutawally hidup semasa dengan Kiai Hasan Maolani Lengkong, Kiai Muhammad Arjain, penghulu Keraton Kanoman sekaligus mursyid tarekat Syattariyyah, dan Syekh Tolhah bin Kiyai Tolabuddin.

Advertisements

Sebenarnya, nama Mutawally itu bukan nama aslinya, tetapi hanya sebuah julukan yang diberikan oleh masyarakat atas keagungan atau karomahnya. Nama kecilnya adalah Ki Bagus Siradjur Rasyidin. Pemberian gelar ini tidak lepas dari peristiwa monumental yang terjadi pada saat itu.

Menurut tradisi lisan lokal, nama Mutawally pertama kali diberikan pada saat Ki Bagus Siradjur Rasyidin menunaikan ibadah haji ke Baitullah dengan menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan, kapal yang ditumpangi Abah Mutawally mogok di tengah samudra. Atas berkat Allah, Abah Mutawally berhasil menghidupkan kapal tersebut dengan cara turun ke laut dan mendorongnya. Atas peristiwa yang sangat luar biasa ini, Ki Bagus Siradjur diberi gelar Mutawally yang berarti “orang yang mampu mengangkat”. Gelar inilah yang kemudian dipakai setelah kembali dari menunaikan ibadah Haji ke Baitullah.

Abah Mutawally dilahirkan di Kampung Huludayeuh, Desa Timbang, Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan sekitar tahun 1818/1819. Abah Mutawally berasal dari keluarga tokoh agama lokal. Ayahnya bernama Ki Bagus Konaan, putra Ki Bagus Maijah, tokoh yang dimakamkan di Bukit Panyamunan, Putat, Cirebon.

Jika merunut garis keturunan silsilahnya, Abah Mutawally merupakan keturuan ketiga belas dari Sunan Gunung Jati melalui jalur Maulana Hasanudin. Abah Mutawally merupakan cucu buyut dari Kiai Tubagus Nadimuddin, seorang ulama asal Banten yang mengembara ke Cirebon. Setelah jatuhnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Kiai Tubagus menetap di Timbang dan membangun pesantren pertama di Kampung Huludayeuh, Desa Timbang pada tahun 1672.

Sebagai keluarga tokoh agama sekaligus pengasuh pesantren, pendidikan agama Abah Mutawally saat muda diawali di bawah bimbingan orang tuanya di pesantren Huludayeuh. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan ke beberapa pesantren dan kiai yang ada di sekitar Timbang, Indrapatra, dan Cilimus.

Sayang tidak banyak informasi terkait bidang keilmuan apa yang diperdalam pada masing-masing guru tersebut dan berapa lama Abah Mutawally berguru kepada setiap gurunya tersebut. Tidak cukup puas atas apa sudah diperoleh, Abah Mutawally melanjutkan studi agamanya ke beberapa pesantren di luar Desa Timbang, salah satunya Pesantren Benda Kerep untuk berguru kepada Kiai Sholeh Zamzami. Di bawah bimbangan Kiai Soleh ini, Abah Mutawally belajar tarekat Syattariyah.

Dari berbagai bidang ilmu yang ditekuni, nampaknya ilmu tasawuf menjadi bidang yang paling menyita perhatian Abah Mutawally saat muda. Meskipun, Abah Mutawally sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan sebagai pengikut suatu aliran tarekat tertentu. Hal itu terlihat pada apa yang paling banyak dipelajari oleh para muridnya kelak ketika menjadi santrinya.

Selain itu, Abah Mutawally juga dikenal memiliki kemampuan luar biasa dalam tradisi pesantren yang disebut ilmu laduni. Hal itu juga nampaknya tidak lepas dari pengaruh kuat dari gurunya, yaitu Kiai Soleh Zamzami dari Benda Kerep yang dikenal memilki kemampuan adikodrati.

Setelah puas belajar agama di level lokal, Abah Mutawally kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus untuk menunaikan haji. Tidak ada keterangan yang jelas tentang kapan Abah Mutawally melaksanakan haji tersebut. Akibatnya, tidak ada keterangan tentang berapa lama ia belajar di kota suci tersebut dan siapa saja guru-gurunya. Namun, jika melihat usianya, mungkin bisa diduga bahwa Abah Mutawally satu generasi dengan atau sesudah Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Hasyim Asy’ary, Kiai Mas Abdurrahman Menes, dan Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Setelah kembali dari Mekkah, Abah Mutawally kembali ke kampung asalnya yaitu Huludayeuh. Di sana, Abah Mutawally dinikahkan dengan Nyi Mas Ropiah. Namun, Abah Mutawally tidak mendapatkan keturunan. Abah Mutawally lalu menikah dengan Nyi Mas Mursilah. Dari pernikahan terakhir ini, Abah Mutawally dikaruniai delapan orang anak (5 orang perempuan dan 3 orang laki-laki), antara lain Nyai Siti Maemunah Mu’awanah, Kiai Muhammad Nur Kholid, Nyai Munawaroh, Nyai Siti Masfufah, Kiai Muhammad Rosyad, Nyai Enju Juhriyah, Kiai Fadil, dan Nyai Maesaroh. Anak yang terakhir ini meninggal dunia pada saat masih kecil, sehingga tidak meninggalkan keturunan.

Setelah menikah, Abah Mutawally memutuskan untuk tidak menetap terlalu lama di kampung halamannya, terdapat pesantren yang dibangun oleh nenek moyangnya dan diteruskan oleh orang tuanya. Hal itu dikarenakan pesantren yang dirintis keluarga besarnya sudah dipimpin oleh kakak tirinya dari istri Kiai Konaan yang pertama, Kiyai Halmi.

Abah Mutawally memilih membuka pesantren baru di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Blok Balangko, Desa Bojong, sekitar 3 KM ke sebelah barat dari Desa Timbang. Hal itu tidak lepas adanya permintaan khusus dari kepala Desa Bojong saat itu, Kuwu Sidik. Undangan tersebut berisikan permintaan kepada Abah Mutawally agar membuka lahan sawah kosong yang terkenal angker. Dalam ajakan tersebut dinyatakan bahwa Abah Mutawally dapat memiliki tanah Blok Balangko tersebut apabila mampu mengusir penduduk ghaib tersebut.

Tidak ada keterangan yang pasti tentang kapan Abah Mutawally pertama kali membuka pesantrennya. Hanya, jika merujuk pada saat pernikahannya yang kedua, diperkirakan pada usia sekitar 30-an. Tak hanya itu, tradisi para pendiri pesantren dalam memulai membuka pesantren rata-rata pada usia 30-an atau 40-an, bisa diduga bahwa Abah Mutawally pertama kali membuka pesantren di Desa Bojong pada tahun 1860-an. Usaha pertama yang dilakukan beliau adalah membangun langgar yang dinamai Siradjur Rosyidin At-Thohiriyah. Langgar tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan terawat, meskipun telah mengalami beberapa renovasi dan perubahan, baik tata ruang maupun beberapa fungsinya.

Selanjutnya, pesantren Abah Mutawally semakin lama semakin dikenal oleh khalayak ramai, terutama mereka yang tinggal di sekitar Desa Bojong dan Cilimus. Tidak sedikit di antara mereka yang kemudian memutuskan untuk tinggal di pondok. Para santri pada awalnya hanya tinggal di langgar yang baru dibangun. Namun, dengan meningkatnya jumlah santri yang mondok, para santri akhirnya ditampung di rumah Abah Mutawally, jika melihat kondisi saat ini berada tepat di sebalah barat belakang mimbar langgar.

Namun, seiring dengan banyaknya jumlah santri yang datang dan mondok, Abah Mutawally secara bertahap mulai membangun asrama-asrama yang lokasinya berada di sekitar langgar. Para santri datang dari berbagai wilayah, baik sekitar Kuningan bahkan hingga beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Sukabumi, Bogor, Indramayu, Tegal, Brebes, dan Pekalongan. Hingga kini banyak keturunan murid-muridnya yang masih melakukan ziarah ke makam guru orang tua mereka secara rutin, terutama pada malam-malam tertentu seperti Jumat Kliwon dan lain sebagainya.

Sementara itu, dilihat dari sisi pelajarannya, Abah Mutawally mengajarkan kepada para santrinya kitab kuning sebagaimana umumnya di berbagai pesantren di Pulau Jawa yang meliputi ilmu-ilmu fikih dan ilmu tasawuf atau ilmu hikmah bagi mereka yang sudah berada pada level tinggi penguasaan ilmunya. Selain itu, Abah Mutawally juga menyelenggarakan pengajian kitab kuning untuk umum seminggu sekali setiap Kamis pagi. Dalam setiap pengajian tersebut, tidak kurang dari 500 orang hadir untuk mendengarkan pelajaran agama dari Abah Mutawally. Tradisi pengajian umum Kemisan ini hingga sekarang masih dilestarikan, meskipun isinya tidak lagi merujuk kitab kuning sebagaimana pada masa awalnya dan jamaahnya tidak lagi para santri tapi ibu-ibu majelis taklim.

Kelebihan Abah Mutawally dalam ilmu hikmah, selain terlihat pada gelar yang diberikan kepadanya, juga didasarkan pada berbagai cerita lisan yang disampaikan oleh para muridnya. Misalnya, banyak diceritakan bahwa ketika ia melintas di depan markas tentara kolonial di tempat yang sekarang menjadi Kantor Polsek Cilimus, pasukan tentara kolonial justru tidak bisa melihatnya. Cerita tersebut dan cerita-cerita lainnya lepas dari apakah terbukti secara historis atau tidak membuktikan akan adanya pengakuan terhadap ketinggian keilmuan yang dimiliki dan kharisma yang dipancarkan Abah Mutawally.

Pada 11 November 1953, Abah Mutawally yang telah berusia kurang lebih 135 tahun meninggal dunia dan dikuburkan di pemakaman umum Ciloklok, Cilimus. Sebagai sosok yang sangat dihormati, para santrinya serta masyarakat sekitar menyepakati untuk membangunkan sebuah rumah khusus di atas makamnya sebagai salah satu bentuk penghormatan atas keagungan namanya. Di tempat itu pula, dewasa ini para peziarah yang datang dari berbagai wilayah, termasuk juga dari Sulawesi Selatan, melakukan ritual bahkan ada yang menginap berhari-hari dengan harapan mendapatkan berkah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan