Menurut laporan yang dirilis WHO dalam Global Report on Health Equity for Persons with Disabilities, pada tahun 2021 ada 1,3 miliar penyandang difabel di seluruh dunia atau setara dengan 16% penduduk global. Artinya, 1 dari 6 orang di dunia merupakan saudara-saudara kita difabel. Di Indonesia, menurut laman Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) memiliki 22,97 juta difabel atau 8,5% dari total penduduk. Berarti 1 dari 8 orang di Indonesia merupakan penyandang difabel.
Entah kenapa hingga hari ini masih saja ada yang berpandangan sinis bahkan negatif terhadap orang-orang yang menurut mereka abnormal baik secara fisik maupun mental. Padahal, tak ada satu orang pun yang menginginkan terlahir ke dunia ini dalam kondisi ‘khusus’ tersebut.
Namun, fakta dan realita di lapangan lagi-lagi memperlihatkan bahwa diskriminasi itu terlihat jelas layaknya Matahari di siang bolong. Seolah-olah kaum non-difabel memiliki harkat, martabat, dan derajat yang lebih tinggi daripada saudara-saudara kita yang difabel. Hal ini terjadi di mana-mana bahkan hampir di semua lini dalam kehidupan masyarakat kita.
Penyebab utama dari cara pandang negatif ini adalah paham ableisme dan disableisme yang sudah mendarah daging. The University of Edinburgh menerangkan ableisme adalah diskriminasi sosial yang memandang bahwa kepentingan kaum non-difabel atau masyarakat umum berada pada posisi yang lebih tinggi atau wajib diutamakan dibandingkan dengan kepentingan kaum difabel.
Artinya, ableisme dapat dikatakan diskriminasi secara tidak langsung terhadap kaum difabel baik dalam bentuk regulasi maupun implementasi kebijakan publik.
Sedangkan, disableisme adalah mereka yang secara langsung atau terang-terangan melakukan tindakan diskriminatif baik dalam bentuk perkataan, sikap dan perilaku terhadap difabel seperti melakukan bullying verbal, menjauhi, mengabaikan dan lain-lain.