Ableisme dan Disableisme: Musuh Utama dalam Menciptakan Ekualitas-Inklusivitas

1,342 kali dibaca

Menurut laporan yang dirilis WHO dalam Global Report on Health Equity for Persons with Disabilities, pada tahun 2021 ada 1,3 miliar penyandang difabel di seluruh dunia atau setara dengan 16% penduduk global. Artinya, 1 dari 6 orang di dunia merupakan saudara-saudara kita difabel. Di Indonesia, menurut laman Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) memiliki 22,97 juta difabel atau 8,5% dari total penduduk. Berarti 1 dari 8 orang di Indonesia merupakan penyandang difabel.

Entah kenapa hingga hari ini masih saja ada yang berpandangan sinis bahkan negatif terhadap orang-orang yang menurut mereka abnormal baik secara fisik maupun mental. Padahal, tak ada satu orang pun yang menginginkan terlahir ke dunia ini dalam kondisi ‘khusus’ tersebut.

Advertisements

Namun, fakta dan realita di lapangan lagi-lagi memperlihatkan bahwa diskriminasi itu terlihat jelas layaknya Matahari di siang bolong. Seolah-olah kaum non-difabel memiliki harkat, martabat, dan derajat yang lebih tinggi daripada saudara-saudara kita yang difabel. Hal ini terjadi di mana-mana bahkan hampir di semua lini dalam kehidupan masyarakat kita.

Penyebab utama dari cara pandang negatif ini adalah paham ableisme dan disableisme yang sudah mendarah daging. The University of Edinburgh menerangkan ableisme adalah diskriminasi sosial yang memandang bahwa kepentingan kaum non-difabel atau masyarakat umum berada pada posisi yang lebih tinggi atau wajib diutamakan dibandingkan dengan kepentingan kaum difabel.

Artinya, ableisme dapat dikatakan diskriminasi secara tidak langsung terhadap kaum difabel baik dalam bentuk regulasi maupun implementasi kebijakan publik.

Sedangkan, disableisme adalah mereka yang secara langsung atau terang-terangan melakukan tindakan diskriminatif baik dalam bentuk perkataan, sikap dan perilaku terhadap difabel seperti melakukan bullying verbal, menjauhi, mengabaikan dan lain-lain.

Para feminis Amerika pertama kali memperkenalkan istilah ini pada tahun 1980-an dan secara resmi dipergunakan secara tertulis oleh siaran pers milik otoritas Inggris Council of the London Borough Haringey pada tahun 1986 (Salim et al., 2022).

Watak buruk ableisme dan disableisme ini seakan-akan menjadi sebuah kenormalan dan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah menghancurkan dan memusnahkan stigma seperti ini.

Hambatan dan Kesulitan 

Ada beberapa hambatan yang menyebabkan sulitnya mengubah stigma masyarakat terhadap kaum difabel. Pertama, masyarakat kita belum memahami secara komperhensif tentang siapa itu kaum difabel dengan segala problematikanya.

Artinya, literasi dan edukasi terhadap masyarakat masih sangat minim. Masyarakat kita  beranggapan bahwa difabel adalah orang yang butuh simpati, belas kasihan dan bantuan, padahal ini merupakan suatu kesalahan besar. Ibu Sinta Nuriyah yang merupakan istri Gusdur pernah berkata: “Difabel itu tak butuh simpati atau dikasihani, yang mereka butuhkan adalah pemenuhan hak-haknya sebagai seorang manusia yang utuh.”

Kedua, kurangnya kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan kaum difabel. Ya, memang butuh proses untuk masalah yang satu ini. Bukanlah perkara gampang untuk memahami gaya bahasa dari penyandang difabel yang spesial daripada masyarakat umum. Maka dari itu penting untuk mempelajari dan memahami bahasa isyarat atau mencari tahu cara mudah untuk memahami apa yang mereka ucapkan atau isyaratkan.

Ketiga, minimnya informasi dan sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang pentingnya kesetaraan dan inklusi sosial. Sangat sedikit rasanya masyarakat yang memahami soal gender equality dan social inclusion dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa dilihat dari bagaimana cara masyarakat dalam berinteraksi dan memperlakukan para difabel. Masih jauh dari kata baik.

Kesulitan atau hambatan dalam hidup merupakan suatu keniscayaan. Tak ada satu orang pun yang hidup kecuali berhadapan dengan kesulitan. Kuncinya tetap jalani dengan tabah dan yakin bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan, termasuk soal mengubah stigma masyarakat terkait penyandang difabel. Allah sudah menetapkan ujian sesuai dengan kesanggupan hamba-hambanya. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Mengikis Ableisme-Disableisme

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mengikis ableisne dan disableisme. Pertama, menumbuhkan kesadaran (awareness) publik tentang gender equality and social inclusion (GESI). Bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, masyarakat dan seluruh elemen bangsa harus mengedepankan upaya kolaboratif dalam menyadarkan masyarakat demi menciptakan suasana yang harmonis dan setara dengan kaum difabel. Caranya bisa dengan menggaungkan GESI di sosial media, ikut berpartisipasi aktif dalam mendukung program pemerintah, dan lain-lain.

Kedua, memperkaya literasi (literacy improvement). Literasi dan edukasi menjadi salah satu pilar untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya GESI, sekaligus mengikis ableisme dan disableisme yang menjadi momok bagi penyandang difabel.

Ketiga, mendukung kemandirian dan pemberdayaan kaum difabel (empowerment). Difabel harus mampu mandiri agar tak menjadi cemoohan dan tindak diskriminasi dari kaum non-difabel.

Pemerintah dalam hal ini dapat bekerja sama dengan pihak lainnya dalam mendorong dan memberdayakan kaum difabel lewat pelatihan-pelatihan UMKM agar nantinya mampu berwirausaha, mengadakan pelatihan aplikatif dalam menghadapi dunia kerja, meningkatkan jumlah persentase pekerja difabel di instansi pemerintah dan swasta sesuai dengan undang-undang serta lainnya.

Keempat, implementasi konkret UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara maksimal di seluruh sektor publik. Seandainya UU tentang Penyandang Disabilitas ini benar-benar diimplementasikan secara maksimal dan konsekuen oleh semua pihak baik pemerintah maupun swasta, hal ini akan memperbaiki dan meningkatkan indeks inklusivitas negara kita. UU ini menjadi pedoman untuk menciptakan GESI hingga mengikis paham ableisme dan disableisme di kalangan masyarakat.

Kelima, menjadikan kaum difabel sebagai role model dalam kancah nasional. Siapa bilang kaum difabel tak bisa berprestasi dan membanggakan negeri? Masih ingat dengan Putri Ariani yang menjadi finalis America’s Got Talent? Atau Naja sang hafiz cilik 30 juz yang kakinya dicium oleh almarhum Syekh Ali Jaber? Atau Staf Khusus Presiden Bidang Sosial Angkie Yudistia? Mereka semua merupakan contoh sukses kaum difabel yang menjadi role model dan membanggakan secara nasional bahkan Internasional.

Terakhir, memperkuat resiiensi individual (self resiliance). Pemerintah sebagai pemangku kebijakan selain memberikan pelatihan yang sifatnya teknis, dapat memberikan bimbingan dan pelatihan non-teknis seperti pelatihan psikis dan mental yang sifatnya self resiliance.

Contohnya dengan mengadakan seminar motivasi yang pembicaranya juga merupakan seorang penyandang difabel. Tujuannya yaitu memberikan energi kekuatan dan daya tahan kepada difabel dalam menghadapi segala rintangan dan hambatan hidup, sehingga mampu menciptakan generasi difabel yang tegar dan kuat.

Sudah saatnya kita menghancurkan stigmatisasi ‘buruk’ soal difabel yang sudah melekat begitu lama. Saudara kita para difabel harus yakin bahwa mereka adalah orang-orang spesial dengan kemampuan yang spesial pula.

Semoga dengan perlahan-lahan mengikis stigma ini Indonesia ke depan akan mampu memberangus dan memusnahkan ableisme dan disableisme sehingga saudara-saudara kita kaum difabel mampu menciptakan peluangnya sendiri serta mandiri baik secara ekonomi dan sosial. Aamiin…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan