Tradisi berkunjung ke kiai pada kultur masyarakat madura diabadikan dalam kata “nyabis” atau “acabis”. Secara substansi, acabis adalah kegiatan berkunjung ke rumah seseorang. Namun secara kontekstual, tidak semua kegiatan berkunjung ke rumah seseorang bisa dikatakan sebagai acabis. Karena itu, acabis selalu identik dengan kunjungan kepada seorang kiai.
Meskipun nyabis atau acabis bukanlah bagian dari ritual agama, namun ia berkaitan erat dengan keberagamaan suatu masyarakat. Acabis adalah potret kongkret relasi antara masyarakat dengan ulama. Atau santri dengan kiai.
Relasi ini terus terpelihara dari generasi ke generasi. Relasi yang mengkristal dalam ruang interaksi sosial masyarakat adalah cikal bakal lahirnya patronase agama. Dalam struktur patronase agama, ada garis tebal yang menegaskan hubungan kuat antara patron dengan klien. Patron adalah kiai, sedangkan klien adalah kaum santri atau masyarakat.
Lantas, mengapa tradisi acabis ini masih terus bertahan di tengah-tengah perubahan karakteristik keberagamaan masyarakat? Bukankah dalam konteks fenomena “spiritual marketplace”, pola patronase agama mengalami pergeseran? Bukankah otoritas keagamaan konvensional secara perlahan kian memudar seiring makin besarnya penetrasi otoritas keagamaan populis?
Adanya spiritual marketplace sebagaimana dipopulerkan oleh Wade Clark Roof, memang memiliki gelombang implikasi cukup besar terhadap tatanan kehidupan sosial keagamaan. Satu di antaranya adalah munculnya perubahan religious style kaum muda. Yang dimaksud religious style di sini adalah pola jejaring keberagamaannya.
Sebagaimana sudah jamak diketahui bahwa selama ini secara turun temurun, dalam satu keluarga misalnya, jejaring keberagamaan seseorang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Figur ketokohan seorang kiai yang dikagumi seorang bapak akan diwariskan pada anak-anaknya. Pada konteks seperti ini, kelestarian tradisi nyabis ke kiai bisa dimaklumi. Karena, loyalitas generasi tua pada tokoh agama terus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Begitu seterusya yang terjadi.
Namun, seiring dengan munculnya Internet dengan media sosial sebagai salah satu menu variannya membuat agama bisa dipasarkan dengan begitu mudah. Dampaknya, akses informasi keagamaan menjadi sangat beragam dan mudah dijangkau oleh siapapun. Sekarang siapa saja bisa belajar apa saja kepada siapa saja dan lewat media apa saja. Latar inilah yang melahirkan adanya tokoh keagamaan populis. Tokoh agama yang dilegitimasi oleh kultur masyarakat kalah popular oleh tokoh agama yang viral di lapak-lapak media sosial.
Pada konteks inilah perlu disadari bahwa figur tokoh agama tidak lagi cukup hanya mendapat legitimasi sosial dan kultural. Namun, harus pula mendapat pengakuan di ruang virtual. Bentuk kongkret pengakuan ini bisa dilihat dari jumlah follower. Makin banyaknya tokoh keagamaan populis yang bertaburan di media sosial, berimplikasi nyata pada mata rantai patronase agama pada tiap keluarga kian melemah.
Realitas keberagamaan semacam ini telah menyadarkan kita semua bahwa anak muda sekarang telah mampu memilih sendiri tokoh keagamaan yang cocok dengan alam pikirnya. Dengan kata lain, para orang tua sudah tidak bisa lagi memaksa atau mewariskan jaringan keagamaannya pada generasi selanjutnya sebagaimana dulu yang dia alami.
Kaum muda dengan media sosial sebagai urat nadi kehidupannya, telah mampu membangun sendiri jaringan keberagamaannya. Kepada siapa harus berguru atau informasi keagamaan apa yang dibutuhkan, semuanya bisa dipenuhi di media sosial yang mereka miliki. Maka dari itu, kharisma ketokohan seorang pemuka agama tidak lagi dipengaruhi relasi patron klien keluarga sebagaimana otoritas keagamaan konvensional. Namun, tercipta sepenuhnya oleh pusaran derap laju arus informasi keagamaan di media sosial.
Ini adalah sedikit cuplikan dari potret besar perubahan keberagamaan generasi muda. Apabila gambaran ini kemudian dipakai sebagai bingkai sudut pandang dalam melihat realitas, maka tradisi acabis di tanah Madura yang masih terus bertahan menemukan keunikannya.
Keunikan yang dimaksud di sini adalah dampak kongkret fenomena spiritual marketplace sebagaimana yang digambarkan oleh pakar sosiologi agama berkebangsaan Amerika tersebut tidaklah benar seutuhnya. Meskipun, kehadiran media sosial dengan segala fasilitas yang diberikan (termasuk menjadi media distribusi dan reproduksi agama), ternyata tidak mampu mengikis apalagi menghapus relasi keberagamaan model konvensional.
Hubungan kiai dengan santri atau kiai dengan masyarakat terus mengabadi dalam ruang interaksi sosial sehari-hari. Meskipun, masyarakat sudah tidak memposisikan kiai sebagai sosok manusia serba bisa sebagaimana zaman dahulu, namun rasa hormat dan patuh pada kiai masih terus dipelihara. Bentuk penghormatan dan kepatuhan pada kiai, salah satunya bisa diukur dari tradisi acabis yang tiada ujung pangkalnya. Dugaan penulis, falsafah hidup masyarakat Madura yang berbunyi “Bhuppa’ Bhabbhu Ghuru rato” turut andil besar dalam memelihara tradisi acabis ini.
Falsafah hidup ini kemudian berubah menjadi semacam norma sosial. Sebagaimana karakter dasarnya, norma sosial adalah pedoman umum masyarakat dalam bertingkah laku. Ia menjelma sebagai pengatur yang membolehkan dan melarang masyarakat melakukan apa. Dalam konteks tradisi acabis ini, kiai adalah salah satu dari tiga sendi kehidupan yang harus dipatuhi dan ditaati. Tiga sendi kehidupan yang dimaksud adalah bapak-ibu (orang tua), guru (kiai-ulama), dan pemerintah (umara). Barang kali inilah yang menyebabkan tidak perlunya rasa khawatir berlebihan atas adanya perubahan keberagamaan generasi muda akan menyebabkan pudarnya bahkan hilangnya tradisi acabis di tanah Madura.