Acep Zamzam Noor: Kita Menjadi Seragam dan Pragmatis

60 views

Mengawali tahun baru, Kamis malam kemarin, 2 Januari 2025, kami melakukan ziarah ke makam Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1992-1999, KH Muhammad Ilyas Ruhiat. Makam kiai kharismatik ini berada di kompleks Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Usai ziarah, kami mengobrol dan berdiskusi dengan sejumlah cucu Kiai Ilyas Ruhiat dan dzuriyat Pesantren Cipasung di kompleks makam hingga menjelang tengah malam. Mereka adalah generasi penerus Cipasung dengan ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang progresif dan inklusif. Menjelang tengah malam itu kami berpamitan untuk pulang ke Jakarta.

Advertisements

Sore hari sebelum ziarah, kami bersilaturahmi ke rumah putra sulung Kiai Ilyas Ruhiat yang menjadi sastrawan dan budayawan, siapa lagi kalau bukan Acep Zamzam Noor. Kang Acep, panggilannya, merupakan salah satu sastrawan Indonesia terkemuka yang muncul dari lingkungan pesantren.

Ia lahir pada lahir 28 Februari 1960. Masa kecilnya memang banyak dihabiskan di lingkungan pesantren. Namun, ketika remaja, ia kuliah di Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu, Kang Acep melanjutkan pendidikannya di Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Selain sebagai sastrawan, ia juga merupakan seorang pelukis. Hingga kini, Kang Acep sudah menghasilkan puluhan lukisan dan puluhan buku kumpulan puisi yang diterbitkan dalam berbagai bahasa. Pada 2025 ini, buku puisinya dalam bahasa Inggris juga akan terbit.

Sebagai seorang sastrawan terkemuka, Kang Acep telah memperoleh beberapa penghargaan, di antaranya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (tahun 2000); Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa, Departeman Pendidikan Nasional (tahun 2001) untuk kumpulan sajak Di Luar Kata; South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (pada tahun 2005) sebagai wakil pengarang Indonesia dengan kumpulan sajak Jalan Menuju Rumahmu; Khatulistiwa Literary Award (tahun 2007) untuk kumpulan sajak Menjadi Penyair Lagi; dan Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk kumpulan sajak Paguneman.

Sebelum meminta putranya, Diwan Masnawi, menemi kami berziarah, kami ngobrol banyak hal dengan Kang Acep, termasuk soal proses kreatifnya, perkembangan sastra pesantren, dan arah perkembangan budaya bangsa Indonesia. Sebagian obrolan itu kami rekam, dan berikut sebagian dari nukilannya:

Sampai sekarang masih aktif menulis?

Alhamdulillah masih. Masih terus menulis, karena itu bagian dari kegiatan sehari-hari. Tapi yang masih banyak saya tulis adalah karya sastranya. Ya puisi. Saya menulis selain puisi biasanya kalau ada keperluan diskusi atau apa.

Sebagai sastrawan yang sudah cukup lama menggulita dunia sastra, bagaimana untuk menangkap ide atau gagasan yang bisa dituangkan dalam karya sastra?

Kadang proses menulis itu juga bisa panjang. Seorang penulis mungkin punya pengamatan, dalam keseharian mengamati lingkungan terdekat, hal-hal kecil, termasuk juga hal-hal yang besar. Nah itu tidak selalu langsung menjadi sebuah tulisan. Ia akan menjadi tulisan ketika ada sebuah dorongan, yang mendorong dia untuk menulis, dan memori tersebut, hasil dari pengamatan dari sekian lama itu, bisa muncul. Itu yang saya rasakan. Jadi, dalam keseharian kita memang harus terus mengamati.

Bisa diceritakan proses menjadi menulis atau sastrawan? Lebih dibentuk oleh lingkungan pesantren atau di luar pesantren?

Kebetulan, tahun 1970-an, ketika saya masih SMP, belum ada yang namanya komunitas atau apa. Jadi saya lebih terbentuk oleh lingkungan keluarga. Di samping, sedikit banyak mungkin ada lingkungan pesantren karena senior-senior saya sering meminjamkan majalah semacam Aktuil, majalah sastra. Di luar itu, di rumah banyak koran. Mungkin ada sampai lima koran yang ada rubrik-rubrik sastra. Jadi perkenalan sastra sebenarnya dari rumah ya. Dari bacaan di koran. Banyak koran harian yang ada ruang sastranya. Dulu itu ada harian Pelita, Pikiran Rakyat, Kompas, Pembaharuan. Itu semua ada rubrik sastranya, termasuk sastra untuk remaja seperti di Pembaharuan. Jadi di situ saya mulai menulis, termasuk dalam bahasa Sunda. Karena ibu saya kebetulan berlangganan majalah Mangle, majalah bahasa Sunda, yang isinya adalah cerpen dan puisi dalam bahasa Sunda.

Jadi bacaan di keluarga berpengaruh ya?

Ya, saya terpengaruh di situ. Saya mungkin baru kenal dunia luar atau komunitas ya setelah saya kuliah di Bandung (ITB). Sebelum kuliah saya juga kuliah di Jakarta ya, di Assyafiiyah, kelas dua sampai kelas tiga. Di situ sudah mulai ketemu dengan buku-buku sastra. Buku-buku terbitan Pustaka Jaya waktu itu. Saya beli di Gunung Bambu atau di Tinta Mas yang di Kramat. Jadi itu mungkin prosesnya.

Di zaman itu, prosesnya seperti itu ya. Nah, kalau sekarang sudah di era digital, apakah kira-kira bisa melahirkan proses kreatif sastra dengan kualitas yang sama atau bagaimana?

Soal kualitas saya kira kembali kepada kreatornya sendiri. Sekarang memang ada perubahan ya. Perubahan zaman. Perubahan teknologi. Dan juga perubahan infrastruktur. Dulu infrastruktur sastra itu kan ada di koran ya, ada redaktur. Sehingga, orang yang mau menulis karya sastra harus melewati sebuah seleksi yang dilakukan oleh editor atau redaktur. Jadi ada proses seperti itu. Sementara, sekarang lebih bebas, siapa pun bisa menampilkan sendiri. Tapi itu menurut saya bukan sesuatu yang bisa menjadikan suatu karya tidak berkualitas. Bisa saja dengan proses yang sekarang juga berkualitas. Karena yang terjadi adalah medianya yang berubah. Tapi proses kreatifnya tetap ada di diri masing-masing (penulis). Kalau memang serius, sekarang bisa lebih hebat lagi. Karena informasi lebih terbuka sekarang. Jadi yang berubah sekarang ini medianya. Nah, perubahan media seperti ini sebenarnya juga sudah terjadi dari dulu. Dari kertas, dari mesin tik ke mesin cepat, lalu komputer. Perubahan-perubahan yang masing-masing punya ciri khasnya sendiri.

Kalau diamati, perkembangan sastra kita dari waktu ke waktu seperti apa?

Sekarang, kalau saya melihat perkembangan sastra, secara publikasi sangat luas. Sangat meriah, masif. Lalu juga peminat sastra sekarang juga terdeteksi. Kalau dulu mungkin hanya para penulis sastra atau dari yang belajar di jurusan sastra. Sekarang ini bahkan ada komunitas-komunitas ibu-ibu yang menyukai sastra, kemudian mereka berproses dan ada yang menerbitkan buku. Ada komunitas macam-macam sekarang ini. Jadi sekarang lebih luas dari sisi pemasyarakatannya. Audiensnya. Tapi kalau kembali ke masalah kualitas ya tergantung pada diri-diri masing-masing.

Bagaimana melihat generasi baru pelaku sastra, terutama dari lingkungan pesantren, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya?

Ini memang butuh waktu. Yang menentukan adalah waktu. Kita tunggu saja. Kalau saya melihat, misalnya di kalangan pesantren, terutama pesantren-pesantren di Jawa Timur atau Madura, banyak sekali penulis-penulisnya. Lalu di Jawa Barat, di pesantren-pesantren juga mempunyai kelompok-kelompok literasi. Cuma itu tadi, ini masih membutuhkan waktu. Karena keriuhan-keriuhan dalam komunitas, misalnya, hanya terjadi ketika mereka di pesantren atau di kampus. Ketika keluar dari pesantren atau kampus, karena bekerja, mereka berhenti. Kecuali yang memang serius. Ini juga seleksi alam yang menentukan.

Bagaimana melihat pendidikan sastra di lingkungan pendidikan kita? Belum lama ini, misalnya, sampai ada usulan sastra masuk kurikulum, misalnya? Apakah selama ini sistem pendidikan kita belum mendukung pengembangan sastra?

Ya betul, saya setuju itu. Pendidikan sastra pernah bagus di awal-awal kemerdekaan. Karena mungkin waktu itu, selain buku tersedia, ada semacam kewajiban setiap siswa membaca buku sastra. Misalnya di tingkat SMP dan SMA ada buku sastra yang wajib dibaca. Dan bukan hanya yang bahasa Indonesia, tapi juga bahasa daerah. Nah, ke sini ke sini, terutama setelah Orde Baru, pendidikan kita tidak bisa memisahkan antara tata bahasa dengan sastra. Itu ketika ada pelajaran Bahasa Indonesia. Nah setelah itu tergantung gurunya. Kalau gurunya tidak punya minat pada sastra, dia hanya akan memberikan pelajaran pada Bahasa Indonesia saja. Sementara sastranya ditinggalkan. Dan itu yang terjadi sampai sekarang. Itulah problem-problem kita. Dan sebenarnya ini sudah diusulkan sejak lama untuk memisahkan pendidikan bahasa menjadi dua, menjadi linguistik sama sastra. Tapi memang ada juga gurunya yang minat sama sastra, ya beruntunglah murid-muridnya. Itu problem tersendirilah dalam suatu kebijakan. Karena dengan, misalnya tidak diwajibkan membaca (sastra), akhirnya yang dikuasai hanya teori-teorinya saja yang ada di ujian. Jadi yang dikuasai hanya jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan, misalnya nama pengarang atau sinopsis dari sebuah buku sastra.

Bagaimana dampaknya jika pendidikan sastra tidak jalan bagi lahirnya generasi baru?

Mungkin dampaknya bagi apresiatornya. Artinya, kalau seseorang memang punya minat sastra yang kuat, dengan kondisi pendidikan seperti ini, dia akan jalan sendiri, belajar sendiri. Tapi untuk murid-murid yang lain, yang mungkin minatnya tidak terlalu tinggi terhadap sastra, ke depannya mungkin mereka tidak akan menjadi apresiator yang baik. Sementara dunia sastra juga membutuhkan dua-duanya, kreator dan apresiator. Sama pembacanya dan penikmatnya.

Bagaimana dengan pendapat yang menyebutkan bahwa generasi sekarang ini kurang mendapat sentuhan sastra?

Ya, tapi sekarang juga, di luar masalah pendidikan tadi karena memang itu soal kebijakan pemerintah, dunia medsos juga membuat sastra lebih dikenal secara umum. Juga peminat-peminat sastra bertambah. Walau pun ini belum otomatis menjadi peminat atau pembeli buku. Misalnya di IG, yang kutipan-kutipan sastra dari para sastrawan juga banyak ditampilkan oleh mereka, anak-anak muda kita. Kemudian membacakan sendiri karya-karya sastranya lalu ditampilkan di reels IG. Itu banyak sekali. Dari sisi ini menurut saya sudah lumayan sekarang. Artinya, ada bagian-bagian puisi yang sangat menarik bagi mereka kemudian ditampilkan sebagau quote dengan sebuah desain yang menarik.

Bagaimana dengan perkembangan sastra di lingkungan pesantren?

Dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, sekarang lebih maju. Misalnya di Tasikmalaya ini ya, seperti yang saya ceritakan tadi, ada seorang dosen namanya Asep Tamam, sudah banyak menerbitkan buku-buku dari kalangan santri. Cuma masalahnya, apakah setelah keluar dari pesantren mereka akan terus menulis atau tidak. Itu yang sering jadi masalah. Di sini juga ada santri yang menulis novel-novel pop yang bukunya sudah diterbitkan, termasuk oleh kelompok Mizan.

Jadi kaderisasi sastra pesantren berjalan ya?   

Ya, ada beberapa penulis lain, misalnya, Pak Husnur di Tasik, sekarang sudah jadi kiai dan sudah punya penerbitan sendiri. Dan belakangan banyak menerbitkan buku biografi dari kiai-kiai di Tasikmalaya. Dan ada beberapa biografi kiai yang sudah jadi novel. Misalnya Kiai Zainal Mustafa, Kiai Wahab Muchsin yang dari Sumana. Terus Kiai Tohir Affandi dari Sukmajaya itu sudah jadi novel, bahkan sampai empat jilid. Jadi penulis-penulis pesantren cukup produktif. Mungkin juga ada kerja sama dengan alumni, jadi pendistribusian penjualannya ke alumni yang biografi-biografi tadi.

Jadi kita bisa optimis ke depan dunia sastra pesantren kita akan terus berkembang?

Ya, tapi mungkin dalam kuantitas tidak terlalu banyak. Tapi nanti pasti akan muncul nama-nama baru dari dunia pesantren.

Bagaimana untuk mendorong agar sastra pesantren lebih berkembang lagi secara optimal?

Menurut saya dengan workshop-workshop penulisan itu penting ya. Karena sasarannya kan orang yang berbeda. Santri yang sudah lulus mungkin pulang, itu kan sudah jadi bekal jika memang ingin serius. Tapi yang baru masuk pesantren juga perlu diberi workshop. Dulu, misalnya, dilakukan oleh LkiS memberikan workshop penulisan bagi santri Yogyakarta. Kemudian berkembang di daerah-daerah dan terbentuklah jaringan. Sempat di Tasikmalaya juga ada.

Tapi problemnya banyak penerbit yang punya concern di bidang sastra menurun atau merugi dan hilang. Bagaimana untuk menyiasati agar sastrawan tetap punya media untuk menyampaikan gagasannya?

Sekarang ini menjadi penerbit kan relatif lebih gampang, karena kita di Tasik sendiri sudah banyak penerbit baru tapi memang sifatnya indie ya. Ada sekitar lima penerbit indie di Tasik ini. Dan terbilang sudah produktif. Tapi memang dalam jumlah yang terbatas. Baru kalau stoknya sudah habis dicetak lagi.

Sebagai seorang sastrawan dan budayawan, bagaima Kang Acep melihat perkembangan budaya bangsa kita akhir-akhir ini?

Dari sisi budaya, saya melihat dalam beberapa hal kurang menyenangkan ya situasi yang sekarang ini. Misalnya, kearifan-kearifan lokal yang menjadi nilai-nilai sebuah budaya menjadi tidak keluar. Tergerus. Contohnya, anggota DPR itu kan wakil dari berbagai daerah, dari berbagai etnis, dari berbagai budaya. Tapi ketika masuk ke lembaga itu (DPR), jadi seragam semua. Tidak ada, misalnya, yang tampil sebagai karakter Sundanya, karakter Jawanya, atau Bataknya. Sekarang ini jadi sama semua. Artinya, ketika urusan korupsi, misalnya, semua melakukan. Padahal, kan, di budaya-budaya tertentu itu kan sangat memalukan. Jadi sudah tecerabut dari akar budaya. Itu yang kemudian mewarnai dunia politik kita, dunia kebudayaan kita. Itu contoh yang di pusat ya. Ternyata di daerah juga sama. Kita menjadi seragam, prakmatis, hanya menjadi untung, dan tidak berpikir jauh untuk nilai-nilai.

Apakah fenomena formalisme agara juga ikut mempengaruhi terhadap perkembangan budaya kita?

Kalau menurut saya justru tidak. Bahwa memang ada kelompok-kelompok yang memang sangat formal dalam agama, tapi pengaruh tidak besar sekali. Pengaruhnya ada tapi hanya di kalangan tertentu. Sementara, agama yang berbudaya ada kelompoknya sendiri dan juga kuat. Bahwa kemudian politik juga diwarnai oleh (formalisme) agama itu juga sementara. Bukan total dalam kehidupan sehari-hari. Hanya untuk jualan saja. Kalau pemilu atau pilkadanya selesai kan biasa lagi.

Adanya Kementerian Kebudayaan kira-kira bisa mendorong pengembangan ke arah lebih baik atau sebaliknya?

Itu tergantung menterinya. Karena sebelumnya ada Direktorat Jenderal Kebudayaan, karena sekarang levelnya dinaikkan, mungkin bisa lebih leluasa. Kita tidak tahu seperti apa karena masih baru. Dengan dipisahkan, mungkin Kementerian Kebudayaan akan lebih fokus pada kebudayaan itu sendiri, mungkin yang ada hubungan dengan kearifan lokal atau karya-karya kreatif. Masalah kebudayaan dipisahkan dari Kementerian Pendidikan dan menjadi Kementerian Kebudayaan menurut saya sudah bagus, tapi kita belum tahu hasilnya seperti apa.

Bagaimana melihat perkembangan tradisi pesantren? Sejauh mana terjadi pergeseran?

Tergentung pesantrennya. Di Cipasung ini, misalnya. Ada dua hal. Pertama, pengajian. Itu tradisional. Sama dengan yang zaman dulu. Pengajian kitab kuning dengan cara yang seperti dulu. Kedua, juga ada sekolah umum seperti sekolah yang lainnya sekarang ini. Jadi ada dua hal itu. Di sini nanti santri akan memilih yang mana, dan bisa jalan beriringan. Tapi banyak juga pesantren-pesantren baru yang sepenuhnya sekolah umum, hanya ada pengajian agama, bukan tradisi ngaji kitab kuning. Itu biasanya elite-elite ya pesantrennya. Yang biasanya disebut boarding school itu. Di Tasik dan Ciamis banyak yang semacam itu. Sementara, yang Cipasaung ini atau Sukamana memang tetap mempertahankan yang tradisional. Cuma bedanya ada sekolah (umum). Kalau metodenya tetap tradisional. Tapi ada juga beberapa pesantren seperti di Priangan Timur, Garut dan Tasik, yang sepenuhnya masih bertahan secara tradisional, tidak ada sekolahnya. Tapi itu rata-rata fokusnya ke ilmu alat, tata bahasa, nahu saraf itu. Masih ada yang seperti itu, tapi biasanya kecil dan tidak banyak santrinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan