“Sebenarnya, Nur dan aku tak memiliki hubungan lebih dari teman. Kami hanya teman baik, cukup baik, sejak beberapa tahun silam. Sampai, Nur tak pernah membalas pesanku lagi.”
***
Pagi itu, Afif membangunkanku saat tengah tertidur pulas. Tangan kanannya yang menepok-nepok pipiku sontak membuatku terkejut. Apa pula yang membuatnya membangunkanku sepagi ini?
“Fa! Fa! Bangun, Fa!” panggilnya setengah berteriak.
“Apaan, Fif! Ah, jangan ngaco di rumahku!” gerutuku setengah tak sadar karena masih sangat mengantuk.
“Fa! Nur, Fa! Nur meninggal dunia,” kalimat yang keluar dari mulutnya itu membuatku terperanjat dan segera mengambil posisi duduk.
Saat sudah membuka mata lebar-lebar, kulihat Afif berjongkok di depanku sambil menyodorkan ponselnya. Tanpa pikir panjang, aku meraih ponsel itu dan memperhatikan layarnya dengan saksama. Dalam ponsel tersebut kulihat story Whatsap milik Nur yang menampilkan fotonya saat masih SMP. Yang membuatku semakin terkejut adalah caption di bawahnya tertulis “Innalillahi Wai Innailaihi Raji’un”.
“Fif, ini bercanda, kan?” tanyaku pada Afif memastikan.
“Aku benar-benar sudah memastikannya, Fa,” jawab Afif dengan nada suara sedikit gemetar.
Cahaya Matahari yang menyusup lewat jendela sedikit demi sedikit menerpa wajahku yang masih kusut. Ketika itu, kami sama-sama terdiam. Suara kokok ayam jantan milik tetangga terdengar nyaring di depan rumah. Suara kumbang yang menyedot sari bunga di dekat jendela kamar juga terdengar jelas.
“Story ini,” ujar Afif kemudian, masih dengan nada gemetar, “diposting pukul tiga dini hari. Sekarang sudah pukul tujuh lebih. Sudah lewat empat jam sejak kematiannya. Mungkin sekarang dia akan segera dikebumikan.”
Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Kali ini aku sama sekali tak menghiraukan Afif. Tak terdengar suara langkah kakinya mengejarku ke belakang. Mungkin, ia menangis di atas tempat tidurku. Ah, terserahlah.
Sampai di kamar mandi, aku lupa hendak melakukan apa. Kabar tentang kematian Nur membuat pikiranku sedikit kacau. Ketika meraih odol dan sikat gigi, sial, aku tak bisa membendung air mata yang sejak tadi sudah mengambang. Aku ingat pergi ke kamar mandi hanya untuk menangis supaya tak terlihat oleh Afif. Aku menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam odol dan sikat gigi. “Kau keterlaluan, Nur. Pergi tanpa ada berpamitan. Kalau hanya sehari dua hari tak mengapa. Masalahnya, kau pergi untuk selamanya,” gerutuku dengan isakan
Saat tersisa hanya beberapa sesenggukan dan ingus yang keluar masuk mengikutinya, aku segera mencuci mukaku sampai bersih agar saat keluar dari kamar mandi Afif tidak mengira bahwa aku habis menangis. Namun, ketika sudah di kamar, Afif tak kutemukan di sana. Ah, bocah itu. Padahal aku ingin mengajaknya pergi ke pemakaman Nur.
***
Ketika hampir sampai di rumah Nur, terdengar seseorang memanggilku dari belakang.
“Wafa! Mau kemana?” teriaknya.
“Eh, Kar. Ini, aku mau lawatan ke rumah Nur,” sahutku dengan tergesa-gesa. Fikar rupanya. Teman sepermainanku itu sedang berlari menuju ke arahku.
“Sudah telat. Ayo, mending langsung ke kuburan. Iring-iringannya udah lewat agak lama,” ucap Fikar sembari duduk di jok belakang motorku tanpa menunggu aba-aba.
Aku segera melajukan motor ke arah pemakaman. Dan benar saja, di sana sudah ramai orang. Segera kuparkir motorku dan bergegas menuju tempat Nur akan dimakamkan. Keranda yang berisi jenazah Nur itu masih berada di atas pundak orang-orang yang mengangkutnya. Aku mencoba menerobos, memasuki kerumunan agar bisa ikut menggotong keranda itu. Dan, yap, dapat.
Sampai di mulut makam, keranda diturunkan perlahan-lahan. Bagian atas keranda dibuka dan tubuh Nur yang berbalut kain putih itu nampak jelas di mataku. Tubuh Nur digotong oleh beberapa pria untuk dipindahkan dari keranda ke liang kubur. Saat itulah, terakhir kali kulihat tubuh kurus Nur yang terbalut kain kafan. Tubuhnya benar-benar terlihat sangat kurus. Rupanya dia berbohong ketika pernah kutanya soal penyakit yang diidapnya, “Cuma sakit biasa, kok,” kata Nur beberapa waktu lalu, saat ia masih bisa tersenyum. Oh, Nur! Sakit biasa seperti apa yang sampai membuat tubuh molekmu kurus macam ini?
“Allahu akbar Allahu akbar,” sayup-sayup suara azan terdengar dari dalam kubur. Nadanya yang terdengar menyedihkan itu sedikit-demi sedikit menyayat hati. “Sial! Siapa yang azan di bawah sana?” batinku.
Setelah tiga pria naik dari bawah kubur, beberapa orang mulai menimbun Nur yang ada di bawah dengan tanah yang menggunduk di pinggiran makam. Debum, debum, debum, bunyi timbunan tanah itu sungguh menyiksa telingaku.
Nisan sudah dipasang rapi. Tertulis jelas di sana sebuah nama “Nur Aini”. Sehabis membaca tahlil seorang ustaz bertindak untuk membacakan talqin mayyit nyaring-nyaring di atas makam Nur. “Man rabbuka, wa man nabiyyuka, wa man imamuka . . . ”
“Buat apa pula membacakan talqin untuknya?” gumamku dalam hati, “Nur adalah wanita baik, taat beribadah, dan paham agama. Hei, Pak Ustaz! Tanpa kau bacakan talqin pun Nur bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat kubur. Dia itu pintar.”
Saat semua ritual telah usai orang-orang mulai membubarkan diri. Hanya sanak saudara Nur yang masih tersisa. Sedikit jauh dari makam, aku belum beranjak dari tempat dudukku.
“Fa! Ayo, pulang. Aku nebeng ke kamu lagi. ini kunci motornya,” terdengar suara Fikar mengajakku pulang sembari melempar kunci motor ke pangkuanku. Aku tak menggubrisnya.
Samar-samar aku teringat beberapa waktu lalu Nur pernah memintaku untuk menyanyikan sebuah lagu, lagu yang suka ia dendangkan sendiri. Hanya, saat itu aku tak terlalu menanggapinya. “Ayolah, Fa! Sekali saja. Demi teman baikmu ini,” ucap Nur saat itu, setelah beberapa kali kutolak permintaannya.
“Ck! Ya sudah ya sudah. Kalo suaraku jelek, jangan salahin aku, ya,” sahutku menerima permintaan Nur dengan berat hati dan menyanyikannya acuh tak acuh. Rupanya, aku tak sadar kalau Nur ingin mendengar lagu itu dariku, teman baiknya, lantaran mencoba menguatkan diri dari tumor yang menggerogoti tubuhnya. Dan sekarang, semua hanya tersisa penyesalan.
“Ah, Nur! Jika kau mau, aku akan menyanyikan lagu itu sekali lagi untukmu. Dengan suara terbaik yang kumiliki, Nur. Di sini, di antara tetaburan bunga yang menghiasi makammu, Nur,” gumamku lirih sambil mengusap wajah dengan lengan bajuku.