Umi melihat jam dinding yang menunjukan pukul 6.15, kedua anaknya telah memakai seragam untuk bersiap ke sekolah. Namun, Ahdan yang telah duduk di meja makan hanya memainkan sendok. Melihat anaknya sibuk bermain sendok dan tak segera makan, ia segera mengambilkan nasi untuk Ahdan.
“Ini sarapanmu, Kak.”
“Mengapa ibu selalu mengambilkan nasi untuk kakak. Aku tak pernah diambilkan nasi oleh Ibu,” protes Vika. Ia iri kepada kakaknya yang selalu diperhatikan ibunya.
Umi hanya diam. Ia tidak ingin pagi-pagi berdebat mengenai perlakuan yang tidak sama terhadap kedua anaknya itu.
“Ibu ini selalu membedakan aku dan kakak.”
Umi sebenarnya sudah capek mengatakan kepada Vika tentang alasan yang berulang kali ia katakan. Umi menyadari, Vika memang masih kelas III, sehingga wajar egonya masih kuat.
“Kakakmu itu istimewa, Dik. Ia tidak memiliki kecerdasan sepertimu.”
“Mesti alasan yang sama. Sampai kapan kakak akan seperti itu?”
“Aku tidak tahu, Dik. Ini kan sudah siang. Kalau kakak tidak segera kuambilkan sarapan, kalian berdua akan telat.”
***
Kini Vika sudah Kelas XII SMA. Vika tumbuh menjadi remaja yang jelita. Ia juga menjadi salah satu siswi yang kemampuan akademiknya di atas rata-rata. Ini berbanding terbalik dengan Ahdan. Semenjak kedua orang tuanya meninggal karena bencana longsor di Ngetos, Ahdan putus sekolah. Ia harus menggantikan peran orangtua sebagai tulang punggung keluarga. Masih beruntung Ahdan, karena orang tuanya mewariskan resep membuat martabak dan terang bulan.
Orang tuanya sadar bahwa down syndrome yang dialami Ahdan tidak bisa disembuhkan. Mereka hanya bisa melakukan hal yang terbaik untuknya dengan membekali keterampilan yang sesuai bakatnya.
“Laris, Dan, jualanmu?” tanya Takim, tukang kebun SMA Kertosono.
“Alhamdulillah,” jawab Ahdan sambil tersenyum.
Takim adalah paman Ahdan. Sudah lama Rifai, suami Umi, meminta agar Ahdan diajak bekerja di SMA Kertosono, tetapi memang di sana tidak ada lowongan yang tepat untuknya. Takim merasa kasihan kepada kedua keponakan yatim piatu itu. Ia merelakan jatah kantin yang semestinya untuk dirinya diserahkan kepada Ahdan.
Vika merasa malu, semakin malu, ketika kakaknya bekerja di sekolanya. Hal itu terjadi karena Ahdan berperilaku seperti anak usia enam tahun. Setiap kali Ahdan bertemu Vika di sekolah, ia selalu memanggil namanya. Di waktu luang Ahdan, ia selau mengintip Vika yang sedang belajar di kelas. Terkadang, Ahdan berperilaku berlebihan dengan membuntuti Vika. Ia melakukan itu karena takut Vika digoda teman-temannya atau hal lain yang membuatnya sakit hati atau terluka. Bukan karena sebab Ahdan berperilaku seperti itu. Umi pernah berpesan kepadanya agar menjaga Vika hingga ia menikah.
Ahdan sebenarnya ingin berbagi hati dengan teman-temannnya. Tetapi sayang ia tidak punya teman. Kesibukannya mengerjakan tugas rumah tangga dan mencarai nafkah membuatnya tidak punya waktu untuk mencari teman. Hanya Yoyok satu-satunya orang yang mau menjadi sahabatnya.
Yoyok mau berteman dengan Ahdan karena ia merasa pernah bersalah kepada Ahdan di masa lalu. Ketika Ahdan bekerja di sebuah kantin milik Pak Dar, Yoyok mengajak Ahdan bermain tetapi ditolak. Karena kecewa atas penolakannya, Yoyok mengisengi Ahdan dengan menyembunyikan beberapa alat dapur. Kejadian tersebut membuat Pak Dar gelap mata. Ia memecat Ahdan. Yoyok merasa takut mengaku bersalah ketika itu. Ungkapan penyelasalannya disampaikan dengan menjadi sahabat Ahdan.
***
Pukul 4.46, Ahdan sedang memasak sarapan, Vika memulai percakapan. Ia berniat menyampaikan permintaan uang kepada kakaknya.
“Kak sepatuku, belikan sepatu untuk sekolah! Sepatuku sudah robek,” pinta Vika. Ahdan mengambil dompet sederhananya.
“Aku besok ada kegiatan ekstrakurukurer KIR Kimia. Tambahkan juga uang saku untuk praktikum bersama teman-teman.”
Ahdan memberikan dua lembar uang seratus ribuan kepada Vika. Terlihat beberapa uang sisa di dompet kakaknya, Vika ingin meminta lebih.
“Kurang Kak. Sepatu saja seharga tiga ratus ribu,” tangan Vika mengambil sisa uang yang ada di dompet.
Hati Ahdan berkecamuk. Ia bingung memilih antara tidak menyakiti hati Vika atau harus membeli bahan-bahan martabaknya. Karena bingung, Ahdan tak bisa mengutarakan alasan bahwa sisa uang di dompetnya untuk berbelanja bahan dagangannya nanti. Pikiran Ahdan kalut hari ini. Ia tidak bisa menyelesaikan masalah bagaimana bisa berjualan hari ini. Ia hanya bisa terduduk di ruang tamu.
Pagi ini, Yoyok berniat mengunjungi kantin Ahdan. Ia berniat membantu Ahdan berjualan senyampang meminta sarapan kepadanya. Tetapi sesampainya kantin, Ahdan tidak kunjung muncul. Melihat Vika di halaman sekolah, ia berniat untuk menanyakan keadaan sahabatnya itu.
“Hei Vik. Apa kakakmu baik-baik saja?”
“Iya, kenapa?” jawab Vika dengan ketus.
“Ia tidak berjualan di kantin hari ini. Aku kira ia sakit. Apa dia di rumah sekarang?”
Vika tidak menjawab. Hatinya berbisik, mungkin ia keterlaluan kepada kakaknya sehingga kakaknya marah kepadanya.
“Halo… Vika! Apa Ahdan ada di rumah sekarang?”
“Tadi pagi dia di rumah. Aku titip uang ini kepada kakak jika kau mengunjunginya,” Vika memberikan uang seratus ribu kepada Yoyok.
“Kenapa kau tidak titip hatimu kepadaku?” balas Yoyok dengan nada bercanda.
Vika memalingkan muka. Ia melangkah meninggalkan Yoyok. Ia sebenarnya menaruh hati kepada Vika. Tetapi, Yoyok menyadari Vika tidak mungkin menaruh hati kepada orang yang nasibnya tidak jelas.
Usai perpincangan, Yoyok pergi menuju rumah Ahdan. Ia berniat melihat keadaan sahabatnya. Sesampainya di rumah Ahdan, ia melihat Ahdan sedang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong.
“Mangapa kamu tidak berjualan?” tanya Yoyok kepada Ahdan.
“Tidak ada uang,” jawab Ahdan sambil terseyum. Dalam keadaan apa pun, Ahdan selalu tersenyum. Umi mengajari kepada Ahdan, ‘Jika kita tersenyum, masalah seperti apa pun akan menjadi lebih ringan.’
“Oh, ini tadi aku diberi uang oleh Vika.”
Ahdan tersenyum lebar karena masalahnya sekarang sudah teratasi. Ia langsung bergegas mengambil tas untuk segera berbelanja ke pasar.
“Aku akan membantumu berbelanja agar nanti kamu tidak terlambat berjualan di sekolah. Tapi aku lapar. Bolehkah aku meminta sarapan?”
“Makanlah.” Ahdan menunjuk meja makan. Yoyok segera menuju meja makan.
“Aku susul kamu nanti di kantin setelah sarapan.”
“Ya, jaga Vika jangan sampai diganggu,” pesan Ahdan kepadanya.
Ahdan memutuskan berlari pergi ke pasar untuk mengejar jam istirahat di sekolah. Jarak pasar yang jauh membuat napasnya tengengah-engah. Sesampainya perempatan dekat pasar, Ahdan terlihat kebingungan menyeberang jalan. Ketika melangkahkan kakinya, Ahdan tidak memperhatikan jalan sehingga hampir saja tertabarak kendaraan.
“Hei, hati-hati kalau menyeberang!” teriak seorang pengendara yang hampir menabraknya.
Biasanya, Ahdan selalu berbelanja sebelum pukul 06.00 untuk menghindari keramaian lalu-lintas. Melihat Ahdan kebingungan menyeberang, seorang polisi membantunya.
“Tumben belanja jam segini? Apa kamu kesiangan bangun?” tanya seorang ibu penjual bahan-bahan kue. Ahdan menggeleng.
“Nanti kamu lewat jalan barat pasar. Kamu menyeberang rel kereta api itu lebih cepat dari jalan yang biasa yang kamu lewati. Tapi hati-hati, jalan itu menanjak. Tengok kanan-kiri sebelum menyeberang.”
Ahdan manggut-manggut mendengar pesan perempuam itu. Sesuai dengan petunjuk penjual tadi, Ahdan melewati jalan pintas barat pasar.
Ahdan berlari dengan sisa napasnya. Saat ia hendak menyeberang rel, terdengar suara klakson kereta api yang semakin dekat. Ahdan yang tak paham cara menyeberang hanya berdiri di atas kerikil-kerikil setengah meter dari rel. Jarak ia berdiri masih termasuk lintasan kereta api. Klakson kereta api terus dibunyikan masinis, tapi Ahdan tak kunjung menjauh dari perlintasan kereta api. Dalam hitungan detik, belanjaan Ahdan berhamburan karena ia tersambar kereta.
***
Vika kini hanya bisa menangis ketika melihat kakaknya dikuburkan. Hanya penyesalan yang mengisi ruang hatinya.
“Ahdan sudah berbahagia bersama orang tuamu. Aku kagum kepadanya,” kata Yoyok.
“Ia sudah berusaha keras untuk menjaga amanat orang tuamu. Jangan menanggisinya. Kasihanilah dia untuk terakhir kali dengan mengikhlaskan serta selalu mendoakannya.”