Al-Ghazali dan Kontribusinya dalam Peradaban Islam

1,637 kali dibaca

Dalam perjalanan intelektual Islam, nama Al-Ghazali tentu tidak asing lagi. Apalagi di kalangan Sunni, ia menjadi kiblat tasawuf. Kiprahnya dalam Islam begitu banyak. Bahkan disebutkan, bahwa Al-Ghazali mampu merekonsiliasi perseteruan antara para yuris Islam dan para sufi yang dahulu berseberangan. Sebut saja, misalkan, Al-Hallaj seorang sufi besar itu tewas mengenaskan di tiang gantung setelah sebelumnya diadili oleh para ahli syariat. Lewat karya besarnya, Ihya Ulumuddin, upaya mendamaikan antar dua paham itu bisa dikatakan sukses. Tidak ada diskriminasi di antara ulama pasca itu.

Dalam Ihya, Al-Ghazali mengkombinasikan antara fikih dan tasawuf. Metode penulisan yang seperti ini hampir tidak pernah dijumpai dalam buku-buku Islam klasik sebelulmnya. Begitu proposional ia menempatkan letak pembahasan antara ilmu materiil dan imateriil. Dalam menentukan judul di tiap babnya, ia memilih diksi yang mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antar-tiap ilmu keislaman. Jika dalam kitab konvensional lain berbunyi ‘hukum-hukum salat,’ maka berbeda dengan Al-Ghazali, ia justru memilih diksi ‘rahasia-rahasia salat’, kemudian menjelaskan tentang syarat yang berkaitan dengan luar diri (dhohir) lantas menjelaskan syarat yang berkaitan dengan dalam diri (batin). Inilah yang dewasa ini barangkali disebut dengan integrasi-interkoneksi dalam catur keilmuan Islam.

Advertisements

Al-Ghazali memiliki relasi intelektual yang amat banyak dan luas. Ia ahli dalam banyak bidang keilmuan Islam. Ia seorang filsuf, dibuktikan dengan karyanya yang bernama Maqasid Al-Falasifah dan Tahafut Al-Falasifah. Buku kedua ini yang di masa mendatang dikomentari oleh Ibnu Rusyd dengan judul Tahafut At-Tahafut.

Al-Ghazali juga ahli di bidang tasawuf. Ia mengarang banyak sekali buku-buku tasawuf seperti, Ihya Ulumiddin, Minhajul Abidin dan Misykatul Anwar. Dalam ushul fikih, ia mengarang buku Al-Mustshfa fi Ilm Al-Ushul yang menjadi referensi metode pengambilan hukum Islam ala mazhab Syafi’i.

Al-Ghazali juga seorang fukaha, ia mengarang buku Al-Wajiz dan Al-Basith. Ia juga seorang teolog, dan memiliki karya yang sangat terkenal yaitu, Al-Iqtiqod fil Al-Iqtishod. Ia juga pernah mengomentari kelompok yang menuduhnya sesat dalam akidah, sehingga muncul buku yang berjudul Faishal At-Tafriqah.

Di dalam buku Al-Munqid min Al-Dlalal, sebuah buku autobiografinya, Al-Ghazali menyebutkan ada empat model ‘pencari Tuhan’. Pertama, teolog. Kedua, ahli kebatinan. Ketiga, filsuf. Keempat, sufi.

Secara berurutan, ia mempelajari semuanya. Setelah dirasa bahwa teologi tidak cukup dijadikan sebagai metode mencari Tuhan, ia kemudian mempelajari ilmu kebatinan yang sangat popular di kalangan Syiah Ismaliyah. Namun baginya, ajaran ini masih belum bisa menunjukkan hakikat Tuhan.

Sembari mengajar di Madrasah Nizamiyah dengan tiga ratus murid yang kesemuanya adalah ulama, secara otodidak Al-Ghazali mempelajari inti filsafat. Sama seperti sebelumnya, filsafat juga masih belum mampu menjawab hakikat ketuhanan. Pada akhirnya ia mempelajari ilmu tasawuf. Baginya tasawuf mampu mengkombinasikan antara ilmu dan praktik. Hasil dari praktik itu bersih dari etika buruk yang puncaknya nanti adalah hati nurani yang hanya terisi Tuhan.

Meski begitu banyak dedikasi yang diberikan olehnya, tidak sedikit pula orang yang mencercanya. Bahkan disebut bahwa Al-Ghazali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran peradaban Islam. Adapun, dalihnya adalah bahwa dengan corak tasawufnya manusia menjadi membenci dunia (dzamm ad-dunya), hidup tidak realistis karena senantiasa berteodisi, mengikutsertakan Tuhan dalam mobilisasi kehidupan. Ini yang membuat manusia, secara khusus muslim bermalas-malasan dalam semangat intelektual.

Meski begitu, tuduhan-tuduhan itu muncul jauh setelah Al-Ghazali wafat. Jika kita telisik lebih dalam, tuduhan yang diarahkan kepada Al-Ghazali tidaklah berdasar. Di Indonesia, misalnya, ada begitu banyak sekali para cendikiawan, akademisi, dan kiai kampung yang dalam istilah Ulil Abshar Abdalla disebut para anak cucu Al-Ghazali yang memiliki gagasan-gagasan yang kritis, santun, dan sopan. Menjadikan Al-Ghazali sebagai dalang kemunduran dalam Islam sekali lagi tidaklah tepat.

Dewasa ini banyak sekali paradigma-paradigma yang menganggap Islam adalah agama intoleran. Anggapan demikian muncul dari orang yang justru bukan muslim. Di kalangan Islam sendiri, modernisme yang dilakukan oleh pemikirnya justru disebut liberal. Maka sebagai antitesis dari asumsi miring itu, Al-Ghazali melalui anak cucunya kembali hadir untuk merekonsiliasi itu semua. Sehingga, sampai saat ini Al-Ghazali masih menghiasi dunia intelektual Islam, lebih tepatnya sebagai ‘pendingin’ dari huru-hara yang terjadi.

Akhirnya, kontribusi Al-Ghazali tidak bisa kita kesampingkan begitu saja. Kiprahnya sangat luar biasa. Jika ada pihak yang menentang Al-Ghazali, itu justru semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang rujukan umat Islam, Hujjatul Islam. Di dalam syair Arab di sebutkan idza ikhtalafa an-nasu baina qadihin wa madihin fa’lam annaka tatakallan an syahsin adzim. “Jika manusia berselisih dalam mengomentari seseorang, maka ketahuilah bahwa engkau sedang membicarakan seorang yang besar.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan