Tergolong salah satu yang tertua, Pondok Pesantren Al-Iman Purworejo pernah melahirkan ulama hebat, salah satunya Mbah Shaleh Darat Semarang, yang kelak menjadi gurunya tokoh-tokoh hebat, di antaranya KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Hingga kini, Pesantren Al-Iman tetap kukuh sebagai salah satu pondok salaf yang disegani.
Tak ada catatan yang pasti. Tapi diperkirakan pesantren ini mulai berdiri sekitar tahun 1700-an, atau 1750-an, atau awal 1800-an. Saat itu, konon, ada ulama besar yang diasingkan Belanda ke sebuah hutan di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Tujuannya agar ulama besar tersebut tidak menyebarkan ajaran Islam dan mengobarkan agitasi untuk melawan Belanda. Namanya Mbah Ahmad Alim.
Tempat pengasingan Mbah Ahmad Alim saat itu masih berupa hutan belantara yang dikenal sangat angker, dan belum ada sebutannya. Pengasingan ini tak membuat Mbah Ahmad Alim patah arang dalam berjuang. Hidup di hutan angker itu, Mbah Ahmad Alim malah mendirikan masjid kecil yang sederhana.
Keberadaan Mbah Ahmad Alim dalam pengasingan di hutan ini akhirnya diketahui oleh masyarakat. Orang-orang memang sudah mengenal Mbah Ahmad Alim sebagai tokoh yang alim dan banyak melakukan tirakat. Karena itu, akhirnya banyak orang datang ke tempat pengasingan Mbah Ahmad Alim untuk nyantri, belajar agama. Tempat itu pun akhirnya menjadi sebuah desa yang dikenal dengan nama Desa Bulus, karena di hutan itu terdapat banyak binatang bulus. Di desa baru ini pun telah berdiri sebuah pesantren. Salah satu santrinya adalah Mbah Shaleh Darat Semarang, yang kelak menjadi gurunya KH Hasyim Asy`ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhamadiyah. Pesantren ini ketika itu hanya dikenal dengan sebutan Pondok Bulus.
Vakum dan Bangkit Lagi
Asal usul Mbah Ahmad Alim tetap misterius hingga kini. Konon, Mbah Ahmad Alim dikenal sebagai seorang sufi dan masih keturunan Sunan Gresik. Namun, makamnya memang ada di Desa Bulus ini. Di sana tertera, Mbah Ahmad Alim meninggal pada 1 Jumadilakhir 1262 H/1842 M. Yang dikenang para penerusnya, Mbah Ahmad Alim sangat gigih bertirakat agar pesantrennya menjadi tempat penyemaian ilmu yang mumpuni. Ia selalu berpuasa dan bahkan pernah tirakat tapa pendhem selama 40 hari. Namun, kepada para santri dan keturunannya, Mbah Ahmad Alim justru berpesan untuk menjadi orang yang mulia tidak perlu melakukan tirakat macam-macam, cukup mengaji dengan sunguh-sungguh.
Sepeninggal Mbah Ahmad Alim, perjalanan pesantren yang dirintisnya mengalami pasang surut. Tak lama setelah Mbah Ahmad Alim meninggal, pesantren vakum karena para santri pulang ke daerah masing-masing, sementara keturunannya justru diperintahkan untuk meninggalkan Desa Bulus. Setelah lama vakum, pesantren itu akhirnya dihidupkan lagi oleh KH Raden Sayyid Ali. Sayyid Ali adalah menantu Mbah Ahmad Alim. Sebelum meninggal, Mbah Ahmad Alim memang berwasiat kepada Sayyid Ali untuk meneruskan perjuangannya dan memimpin pesantren. Sementara itu, anak-anak kandung Mbah Ahmad Alim, setelah keluar dari Desa Bulus, juga mendirikan pesantren, seperti Pondok Pesantren Maron, Solotiang, dan Al-Anwar Purworejo.
Sayyid Ali dipilih untuk meneruskan pesantren tersebut dengan beberapa pertimbangan, di antaranya karena dikenal cukup alim dan masih keturunan sayyid. Di tangan Sayyid Ali, pesantren ini mulai hidup lagi. Setelah Sayyid Ali meninggal kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya, Sayyid Muhammad. Dan untuk kali pertama, Sayyid Muhammad mulai menerapkan sistem pendidikan klasikal di pesantren ini. Setelah Sayyid Muhamad wafat pada Jum`at 18 Sya`ban 1349 H/1930 M, perjuangan dilanjutkan oleh putranya, Sayyid Dahlan, yang memimpim pesantren pada kurun 1930 sampai 1938 M. Pada era Sayyid Dahlan inilah pertama kali dibuat lembaga pendidikan Islam di Purworejo, yang kemudian diberi nama Al Islamiyah. Nama ini pula yang akhirnya menjadi nama pesantren yang didirikan Mbah Ahmad Alim ini, Pondok Pesantren Al Islamiyah. Bahkan, saat itu, Sayyid Dahlan sudah berani menerapkan pembelajaran Bahasa Arab dengan menggunakan papan tulis, yang dianggap kontroversial.
Ketika Pondok Pesantren Al Islamiyah mulai berkembang pesat dan sudah bersentuhan dengan kemodernan, lagi-lagi pesantren ini harus menemui jalan berliku. Pada tahun 1938, Sayid Dahlan harus meninggalkan Desa Bulus atas permintaan Bupati Purworejo KRA Hasan Danoediningrat. Saat itu, Sayid Dahlan diminta mengisi posisi imam Masjid Kauman Purworejo. Ditinggalkan Sayid Dahlan, pesantren ini kembali kosong. Vakum. Saat itu, pondok ini dijadikan markas tentara Hizbullah dan Sabilillah yang akan perang melawan penjajajah Belanda.
Tradisi Klasik
Lagi-lagi, setelah lama vakum, pada tahun 1955 Pondok Pesantren Al Islamiyah bangkit kembali. Kali ini, yang menghidupkan pesantren Khadratul Walid. Setelah Khadratul Walid wafat, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh adiknya, Sayyid Agil bin Muhammad Ba`abud. Oleh Sayyid Agil, nama pondok diubah menjadi Pondok Pesantren Al Iman, dengan tujuan untuk bertafa`ulan dengan nama pondok pesantren yang diasuh Segaf Al-Jufry, tempat Khadratul Walid menuntut ilmu di Magelang. Di sana, memang ada madrasah yang bernama Al Iman. Nama itulah yang dipakai. Pada periode ini, di Pondok Al Iman juga mulai berdiri madrasah model klasikal, model formal tapi diniyah, dan berani memasukkan pelajaran umum, seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Saat ini, Pondok Pesantren Al Iman dipimpin KH Habib Hasan Agil Ba’abud, putra dari Sayyid Agil.
Hingga era milenial ini, Pondok Pesantren Al Iman masih sangat menjaga tradisi ala pendidikan salaf. Memang sudah ada lembaga-lembaga pendidikan formal di dalamnya, seperti Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Madrasah Aliyah (setingkat SMA), namun pengajaran kitab-kitab klasik tetap dipertahankan. Penekanan juga diberikan pada ngaji al-Quran dan ilmu-ilmu alatnya, seperti nahwu-sharaf. Kini, salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia yang ada di Desa Bulus, Purworejo, ini memiliki ribuan santri yang bersetia pada tradisi.
Maaf itu mungkin typo ya? Di paragraf kedua. Seharusnya “Purworejo” bukan “Purwokerto”.🙏