sumber: Beritasatu.com

Al-Qur’an, Keragaman, dan Toleransi

242 kali dibaca

Dalam sebuah pengajian Ramadan beberapa tahun yang lalu, KH Husein Muhammad menyampaikan pesan yang mendalam: “Kau adalah aku yang lain.”

Kalimat sederhana ini menginspirasi saya untuk merenungkan makna toleransi dalam Islam, khususnya dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia. Hemat saya, pesan Kiai Husein sejalan dengan konsep trilogi ukhuwah yang dirumuskan oleh KH Ahmad Shiddiq yang menyatukan ukhuwah islamiyah, nasionalisme, dan pluralisme.

Advertisements

Dewasa ini, untuk memperkuat dan mempertahankan semangat kebhinekaan dirasa masih memiliki banyak tantangan. Misalnya, September 2024 lalu, Masriwati, seorang aparatus sipil negara (ASN) di Kota Bekasi, Jawa Barat, melarang warga dari agama yang berbeda untuk beribadah tanpa ada izin terlebih dulu. Fakta ini yang disadari atau tidak melunturkan nilai semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Hal demikian terjadi karena minimnya masyarakat mengenal moderasi beragama, dan sikap toleransi terhadap perbedaan. Alih-alih mempresentasikan toleransi, justru banyak kalangan yang menilai sama antara sikap toleransi beragama dan mencampuradukkan keyakinan.

Pada gilirannya, perlu kita untuk menengok lebih dalam lagi khazanah Islam. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang memuat nilai-nilai yang menghargai keragaman. Salah satunya ialah QS al-Hujuraat ayat 49: 13, yang terjemahannya berbunyi, “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Syaikh Ali ash-Shobuni, ulama kontemporer sekaligus guru besar ilmu tafsir di Universitas King Abdul Aziz Makkah, dalam karyanya Shofwat at-Tafasir, menegaskan bahwa, “Dimensi kemuliaan seseorang tidak dilihat dari apapun, selain dari ketakwaannya. Hal ini selaras dengan sabda Nabi: barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bertakwalah kepada Allah.”

Sebelum ayat tersebut, di surat yang sama, juga ada penegasan hal senada, “Bahwa setiap orang-orang yang beriman adalah suadara” (QS. Al-Hujuraat ayat 49: 10).

Dalam perspektif gaya bahasa Arab (balaghoh), asal pembicaraan dalam potongan ayat tersebut adalah ”seorang mukmin bagaikan saudara, yang wajib dalam aspek kasih sayang dan tolong menolong. Terlebih, ayat tersebut disampaikan dengan menghilangkan kata penghubung dan sifat yang diserupakan (tasybih baligh). Hal ini menandakan bahwa penekanan untuk menebar kasih sayang yang kuat, juga memperindah ungkapan.” (Ash-shobuni, 1975).

Begitu jelas hubungan moralitas horizontal antarmanusia yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Bahwa, dalam perbedaan tidak ada pengaruh sama sekali atas kemuliaan kita di sisi-Nya, melainkan diukur dari sisi keatakwaan kepada-Nya. Juga mafhum bahwa saling membenci dan enggan dalam menebar kasih sayang merupakan suatu yang tidak layak bagi orang yang beriman.

Tradisi Islam sesungguhnya telah mengajarkan bagaimana umat Islam harus hidup dalam keberagaman. Salah satunya bisa dilihat pada dokumen Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, merupakan perjanjian formal yang disusun oleh Nabi dengan kaum Yatsrib (Madinah) di daerah dengan latar belakang non-muslim dan komunitas agama lain. Dokumen ini berisi poin-poin persaudaraan, kerja sama, persatuan, serta menghindarkan kejahatan dan keburukan, terlebih dari serangan luar. Tujuan utamanya tak lain ialah membangun relasi harmonis antara umat beragama untuk menjaga kebangsaan Kota Madinah. Dan ini merupakan bukti konkret yang menjunjung tinggi visi Islam, yaitu Rahmatan lil’alamin (Kodir, 2022).

Tak hanya itu, dakwah Nabi yang ditopang kaum Nasrani saat berada di Habasyah juga memiliki nilai toleransi. Di mana, para sahabat diterima dengan baik oleh Raja Najasyi. Mereka hidup damai dan tentram. Bahkan, ketika utusan Quraisy datang untuk meminta agar para sahabat dikembalikan, Raja Najasyi menolak dengan tegas. Beliau sangat terkesan dengan akidah dan akhlak para sahabat (Pradesa, 2015).

Abu Hasan Ali Bin Utsman al-Hujwiri melalui kitabnya Kasyfil Mahjub menceritakan, ketika seorang kepala suku datang menghadap Nabi, spontan Nabi melepaskan dan menghamparkan jubahnya untuk tempat duduk suku itu yang bukan seorang muslim, lalu beliau bersabda kepada para sahabat, “Hormatilah setiap kepala suku (apapun agamanya)” (Muhammad, 2019).

Juga, pada kesempatan khutbah wada’ (perpisahan) di Arafah dalam pelaksanaan haji wada’, Nabi menyampaikan, “Sesungguhnya darah kalian semua, dan harta kalian semua, serta kehormatan kalian semua adalah suci dan mulia yang harus dihormati.”

Menurut hemat Kiai Fakihuddin Abdul Kodir (2022), pidato ini tidak hanya untuk umat muslim yang hadir di sana, tetapi bagi seluruh umat muslim yang lainnya, bahkan layak untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia di manapun dan kapanpun.

Begitulah kehidupan Nabi yang selalu memandang umatnya dengan rasa kemanusiaan, juga dengan penganut agama lain. Maka, tak jarang dari mereka yang memeluk Islam karena mulianya akhlak Nabi.

Kisah seragam datang juga dari ulama sufi sekaligus filsuf terkemuka, yakni Maulana Jalaludin Rumi yang memiliki banyak murid dengan beragam latar belakang agamanya. Namun, hal itu bukan menjadi penghalang bagi Rumi untuk menyikapinya secara adil dan tanpa memaksa mereka untuk mengkonversi agama. Maka tak heran, ketika beliau wafat, jenazahnya dihadiri dari berbagai kalangan dan penganut agama lain (Muhammad, 2019).

Profesor Dr Muhammad Chirzin dalam bukunya Belajar Dari Kisah Kearifan Sahabat: Ikhtiar Pengembangan Pendidikan Islam (2007), mengisahkan Georgeous Bukhtisyhu, seorang pendeta Nasrani sekaligus dokter pribadi khalifah Harun ar-Rasyid, di mana relasi yang mereka bangun begitu sangat apik dan saling menghargai, bahkan sampai hari kematian Georgious, Sang khalifah datang untuk penghormatan terakhirnya dan mengutus pengawal untuk mengiringi pemakaman Georgius.

Penting bagi kita untuk merealisaikan pesan Al-Qur’an dan kisah-kisah kearifan yang bernuansa toleransi tersebut, khususnya di masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan harapan menahan harum wangi masyarakat Indonesia yang disebut Ibnu Khordadbeh, sejarawan Persia, dengan sebutan bangsa dengan ciri khas memiliki banyak perbedaan suku, aliran dan agamanya, bangsa yang masyarakatnya jujur, santun, terbuka, beragam dan toleran (Zaini, 2018).

Perdamaian dan kesatuan bangsa ini dapat kita aktualisasikan melalui pesan Al-Qur’an dan kisah-kisah inspiratif Nabi. Serta terus merajut semangat semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Akhir kata sebagai penutup, mengutip dari cendekiawan muslim indonesia KH Abdurrahman Wahid dalam buku Tuhan Akrab Dengan Mereka Kumpulan Tulisan Gus Dur tentang Toleransi dan Keberagaman (2024), “Bahwa konflik yang sering terjadi di luar atau di dalam negeri seringkali dipicu oleh kurangya pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan.”

Wallahu a’lam bishowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan