Al-Qur’an Kitab Bisu, Kita Pembicaranya

48 views

Al-Qur’an tidak berteriak. Ia diam di antara lembar-lembarnya, bisu kecuali kita yang membuka hatinya. Kata-katanya tertulis dalam bahasa manusia, tetapi maknanya melampaui batas ruang dan waktu, menanti suara dari mereka yang berani menjembatani langit dan bumi.

Inilah paradoksnya: Kitab yang diyakini sebagai Kalam Ilahi itu hanya menjadi rangkaian huruf mati jika tak dihidupkan oleh akal, nurani, dan konteks zaman. Kita—dengan segala keraguan dan keyakinan—adalah “pembicara” yang ditugaskan untuk mengubah diamnya huruf menjadi nyanyian peradaban.

Advertisements

Sejarah membuktikan bahwa Al-Qur’an bukan katalog hukum beku atau mantra magis. Ia partitur musik yang memerlukan pemusik. Lihatlah Ali bin Abi Thalib yang berdebat tentang makna “zulm” (kezaliman) dalam konteks politik Madinah, atau Aisyah RA yang menafsirkan ayat-ayat rumah tangga dengan kearifan perempuan.

Al-Ghazali mengekstrak kedalaman sufisme dari teks yang sama yang dipelajari Ibnu Rusyd untuk membangun rasionalitas filsafat. Mereka semua adalah “pembicara” yang berbeda, tetapi sama-sama setia pada pesan Al-Qur’an: hidup dalam setiap zaman.

Lantas, mengapa kini kita sering memperlakukannya seperti artefak museum—disucikan, dikagumi, tapi dilarang disentuh maknanya?

Al-Qur’an sendiri menantang kita: “Afala ta’qilun?” (Apakah kalian tidak menggunakan akal?)—pertanyaan itu bergema seperti gema di lembah kesadaran. Ironisnya, sebagian kita justru membungkam pertanyaan itu dengan dogma. Kita terjebak dalam tafsir yang dikurung dalam kotak abad ke-7, seolah Al-Qur’an turun hanya untuk zaman tertentu. Padahal, ketika Nabi Musa menjelaskan “api” sesuai pengetahuan zamannya, kita hari ini tak perlu ragu menjelaskannya dengan termodinamika.

Al-Qur’an bisu—ia tak akan protes jika kita memaksakan tafsir kolot, tapi ia juga tak akan berterima kasih jika kita mengubur universalitasnya di kuburan kebisuan kita.

Dogmatisme adalah pengkhianatan halus. Ayat-ayat tentang keadilan sosial direduksi jadi jargon politik, kisah para nabi dijadikan alat menghakimi, bukan cermin refleksi. Al-Qur’an menyebut “rahmatan lil alamin”, tetapi lidah kita kerap mengubahnya jadi kutukan bagi yang berbeda. Kita lupa: menjadi “pembicara” Al-Qur’an bukan berarti menjadi juru bicara pasif, melainkan penerjemah aktif yang menghubungkan langit dan bumi. Seperti kata Abdolkarim Soroush, pemikir Iran: “Tuhan berbicara dalam bahasa zaman, bukan bahasa abadi.”

Tugas kita bukan sekadar membaca, tapi membaca ulang dengan mata baru. Ketika Al-Qur’an mengkritik Bani Israil yang terbelenggu Taurat kaku, ia sedang mengecam cara beragama yang kehilangan roh. Tapi lihatlah kita hari ini: sibuk memperdebatkan warna hijab atau ukuran jenggot, sementara Al-Qur’an justru memerintahkan perang melawan kesenjangan (QS Al-Ma’un:1-7), kesombongan intelektual (QS Luqman:18), dan pengabaian lingkungan (QS Ar-Rum:41). Kitab ini bisu, tetapi kita terlalu sibuk berteriak untuk mendengar bisikannya.

Untuk membangkitkan suaranya, kita perlu keberanian menjadi “pembicara” yang jujur. Tafsir bukan wahyu—ia produk manusia yang bisa salah, bisa diperbarui. Fazlur Rahman menawarkan metode “gerak ganda”: memahami konteks historis ayat, lalu mengekstrak prinsip universalnya untuk menjawab masalah kontemporer. Misalnya, prinsip adl (keadilan) dalam QS An-Nisa:135 tak hanya berlaku untuk sengketa waris abad ke-7, tapi bisa jadi pisau analisis untuk ketimpangan ekonomi digital hari ini.

Namun, bukan berarti kita bebas menafsir semaunya. Di sinilah metodologi maqashid syariah (tujuan syariat) dan hermeneutika kritis berperan. Seperti dokter yang meresepkan obat berbeda untuk penyakit yang sama di era berbeda, kita perlu memadukan kedalaman teks dengan kedewasaan konteks. Amina Wadud, misalnya, menggunakan hermeneutika kesetaraan gender untuk menafsir ulang ayat-ayat poligami, bukan membatalkannya, tapi menekankan prinsip keadilan yang sering diabaikan.

Kekhawatiran akan relativisme tafsir sah adanya. Tapi bukankah Al-Qur’an sendiri memberi contoh dialog? Saat Umar bin Khattab menghapus hukuman potong tangan saat kelaparan, ia tak mengubah teks, tapi mengutamakan maqashid: menjaga nyawa (hifzh an-nafs). Ini membuktikan bahwa reinterpretasi bukan ancaman, selama berpijak pada etika dan ilmu.

Akhirnya, Al-Qur’an akan tetap bisu jika kita membacanya tanpa empati dan keberpihakan pada kemanusiaan. Tapi ketika kita menjadikannya mitra dialog—bukan monolog—ia akan berbicara dalam bahasa yang mengejutkan: melalui senyuman anak yatim yang terlindungi, melalui riset ilmuwan yang mengurai rahasia alam, atau melalui perlawanan terhadap tirani. Seperti laut tenang yang menyimpan mutiara di dasarnya, Al-Qur’an menanti kita menyelam untuk menemukan makna baru.

Pertanyaannya bukan lagi “Apa yang Al-Qur’an katakan?” melainkan “Apa yang akan kita lakukan agar ia tetap berbicara?” Sebab, kitab ini terlalu agung untuk dibiarkan bisu. Ia bukan monumen mati, tapi samudera makna yang menanti gelombang pemikiran kita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan