“Ayah, apakah ikan punya agama?”
“Mengapa begitu?”
“Jika ia mati, pada siapa ia akan kembali?”
“Kamu terlalu kecil untuk berpikir sedalam itu.”
“Aku hanya takut ia kesepian dan mati sia-sia.”
“Kenapa harus sia-sia?”
Keresahan menimbun kepala Ale yang masih berumur empat tahun. Tahun depan ia akan masuk TK. Tapi kami masih ragu, pentingkah pendidikan TK bagi anak kami? Mertuaku kadang mendesak untuk membawa Ale ke sekolah yang didesain khusus bagi balita. Kecukupan finansial yang melimpah bukan alasan bagi mereka untuk tidak memanjakan cucu semata wayangnya. Beruntung, istriku bisa menjawab kegelisahan mertuaku dengan baik dan benar.
Sengaja kami tak membawa dia ke PAUD atau RA yang menawarkan banyak metode agar anak kami bisa belajar dengan bahagia. Selain untuk menghemat uang kas keluarga kecil kami, keputusan itu kami ambil karena kami tak ingin kehilangan banyak momen bersama Ale. Kami ingin Ale belajar langsung dari kehidupan kami yang tidak sempurna. Kami ingin Ale mengenal ketidaksempurnaan. Ale tidak seharusnys didoktrin dengan kebahagiaan hakiki yang ia dapatkan dari kisah-kisah heroik yang terdapat dalam teks sesuai kuriukulum sekolah. Kebahagian ideal yang dirancang untuk memenjara hasrat bahagia itu sendiri. Ale harus sadar, bahwa bahagia adalah penyatuan rasa atas kesadaran untuk menerima dari segala ketidaksempurnaan.
Ale mulai banyak bicara. Protes kecil sudah biasa ia sampaikan. Aku bersyukur karena Tuhan berikan ia kebebasan untuk berpikir dan berpendapat sedini mungkin. Tingkah nakal anak kecil juga tidak jarang nampak dari segala keusilannya. Kami saling bercerita tentang banyak kisah, tentang keberhasilan, kegagalan, dan semangat pantang menyerah. Bahkan, Ale yang belum memiliki banyak kisah hidup mulai bercerita tentang segala hal yang dia alami. Tentang pertemuannya dengan serangga maupun cacing di kebun belakang. Tentang daun pisang yang ia gunakan sebagai mainan. Dia bercerita dengan detail apa yang terjadi dan ia rasakan. Ale cukup cerdas untuk mendeskripsikan sesuatu.
Di umurnya yang tak memenuhi jari tanganku, Ale mulai memiliki hewan piaraan. Ia memilih untuk memelihara ikan hias yang biasa dijual di depan sekolah dekat rumah.
Kenapa ikan, Nak?.
Ale jatuh cinta dengan warna dan ketabahan ikan. Ikan tak pernah meraung meminta keluar untuk jalan-jalan. Ia selalu menerima hidupnya.
Bagaimana kamu tahu?
Aku melihatnya di balik akuarium mini yang kita punya. Akuarium mini berasal dari teko kaca milik ibunya yang tak terpakai, tanpa pompa oksigen, hanya kuberikan sedikit tumbuhan di atasnya untuk mempercantik akuarium dadakan itu. Ale begitu menyayanginya. Hampir setiap hari ia tak pernah absen untuk membersihkan akuarium.
Suatu hari, seorang sahabat ibunya datang berkunjung. Kehebohan khas ibu-ibu muda menghiasi caranya mengapresiasi ikan hias Ale. Ale hanya terdiam memperhatikan setiap gerak-gerik bibir teman ibunya. Hingga sampai pada satu percakapan yang membuat Ale tidak bisa tenang dan cenderung gelisah.
“Ikan hias cem mana ni, paling tak lama juga mati. Berapa beli? Cuma lima ribu, kan? Di depan SD itu, kan?”
“Anakku sudah membeli hampir lebih dari lima kali. Ikan ini tidak bisa survive. Lihat itu, ingsannya sudah merah. Artinya dia kekurangan oksigen. Aku bisa tahu ini karena aku diberitahu oleh guru les anakku yang kebetulan hobi ikan hias juga,” ibu muda ini terus saja berbicara sambil cekikikan asik bergosip, tanpa memperhatikan bagaimana kacaunya perasaan Ale.
Ale terlihat gelisah. Setelah sahabat istriku pulang. Ale tidak beranjak dari samping ikan hiasnya. Ale masih belum bisa membaca dan menulis. Meskipun, dia sudah bisa mengaji -sedikit- dan menghafal beberapa surat pendek.
Aku menghampirinya yang sedang larut dalam renungan. Aku usap rambut halusnya yang sudah saatnya untuk dipangkas agar terlihat rapi. Tiba-tiba ia bertanya, “Ayah, oksigen itu apa? Yang di udara itu, kan? Yang Ayah dulu cerita waktu Ale olah raga main sepeda? Katanya kalau tak bisa napas pake oksigen bisa mati?” Ale bertanya bertubi-tubi seakan menumpahkan kegelisahannya.
“Iya, benar,” aku langsung merespons dengan ekspresi yang sangat meyakinkan, memancing dia untuk terus bercerita tentang kegelisahannya.
“Ikan ini hidup di air, dia tak butuh udara. Ikan tidak bisa jadi Ale yang dengan bebas menghirup udara. Ale juga tidak bisa jadi ikan yang terus menerus berenang di air. Tapi kenapa kami harus mati dengan cara yang sama? Hanya karena tak ada oksigen,” bicara Ale bergetar, mungkin sedang menahan tangis yang sebentar lagi tumpah.
Alur berpikir Ale membuat aku tak kuasa menahan haru. Ale belum pernah belajar materi IPA. Lebih mengejutkan lagi bahwa anak sekecil itu mengingat segala yang aku ucapkan, lalu dengan mudah memahami serta memadukan dengan ucapan lainnya. Hanya karena sebuah ucapan, hidupnya hari itu terasa remuk. Kesedihannya memuncak karena rasa takut akan kehilangan sesuatu.
Ale, anakku, kita harus terbiasa dengan setiap perjumpaan dan perpisahan. Kebaikanmu akan segala sesuatu tak menghalangi takdir atas setiap kehilangan. Tidak ada agama, suku, budaya, atau latar belakang apa pun yang bisa menyelamatkanmu dari sebuah rasa kehilangan.
Ale masih menangis, mungkin dekapanku tidak cukup untuk menghentikan tangisnya. Suara rengekan itu tiba-tiba reda dan seketika mata Ale terbenam. Hari ini kau ditakdirkan untuk bersedih, tak apa. Memang Ale harus tahu rasa sedih dan takut akan kehilangan.