Ketika sedang menggulir reels Instagram, pernahkah Anda menemukan sebuah konten anjuran untuk berzikir ini atau membaca wirid itu? Atau, di grup WhatsApp keluarga Anda, ada salah satu anggota keluarga yang langganan menyampaikan siraman rohani setiap harinya?
Itu hanya sedikit contoh dari sekian banyak gambaran nyata dari dinamika dakwah di era digitalisasi teknologi seperti sekarang ini.
Walaupun belum tentu bermata dua, digitalisasi teknologi adalah pedang. Di satu sisi, bagian tajamnya dapat menusuk diri penggunanya. Di sisi yang lain, mengkilat permukaannya dapat menjadi sebuah sinar yang membawa harapan baru bagi dunia. Juga Islam tentu saja.
Bahkan, sebelum sampai ke tahap digital, teknologi telah memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga misalnya. Melalui teknologi wayang kulit yang ia ciptakan, berhasil membuat Islam diterima oleh masyarakat. Dalam wayang, cerita-cerita dari India dimodifikasi sedemikian rupa sehingga napas keislaman dapat masuk tanpa menghilangkan esensinya sebagai media hiburan. Tak hanya itu, gamelan dan gaya arsitektur masjid juga menandai keberhasilan dakwah Sunan Kalijaga yang unik.
Bahkan, jika ditelisik lebih ke belakang lagi, periode awal dakwah Islam juga menggunakan strategi yang tidak jauh beda. Sejak dulu, bangsa Arab merupakan salah satu kelompok masyarakat yang amat mengagungkan syair sebagai salah satu bentuk ekspresi kesenian. Bahkan, mereka juga menyelenggarakan pasar seni secara periodik dengan beberapa karya yang terbaik kemudian dipajang di dinding Ka’bah.
Saat Islam hadir, melalui firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara, dunia kepenyairan tetap diizinkan untuk terus langgeng. Akan tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu syair yang dibuat harus megajak dalam keimanan dan kebaikan. Hal itu tentunya memperlihatkan betapa Islam tidak mau menyia-nyiakan teknologi atau budaya yang sudah mapan di masyarakat untuk menyebarkan ajarannya (Ummah, 2024).
Hingga berabad-abad setelahnya, penyebaran Islam lewat syair seakan sudah menjadi hal yang umum. Dalam jatuh bangunnya peradaban Islam, kita mengenal penyair-penyair hebat seperti Abu Nawas, Jalaluddin Rumi, hingga sufi wanita kenamaan Rabiah Al-Adawiyah.
Sampai Islam datang ke Indonesia, metode dakwah serupa juga diterapkan oleh Wali Songo dalam tembang. Sunan Drajat misalnya, melalui tembang Pangkur yang diambil dari kosa kata bahasa Jawa mungkur, menggambarkan tentang sebuah fase kehidupan manusia yang mulai mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhi hingar bingar dunia (Ainiyah, 2019).
Dakwah dengan media-media tersebut, mulai dari syair hingga tembang, dapat diartikan sebagai alih wahana dalam makna yang luas. Dalam artian yang sempit, alih wahana adalah kegiatan mengubah satu jenis kesenian ke dalam jenis kesenian yang lain.
Sapardi Djoko Damono, dalam Alih Wahana (2018), mengatakan bahwa ruang lingkup alih wahana dapat lebih luas dari itu, yaitu mencakup segala jenis pemindahan atau pengubahan. Hal itu disebabkan sangat luasnya arti dari wahana, yaitu medium yang digunakan untuk menyampaikan gagasan.
Alih wahana dapat menjadi metode yang sangat penting dalam penyampaian suatu gagasan karena sebuah gagasan yang memiliki kekurangan dapat diubah menjadi bentuk gagasan lain yang lebih unggul.
Contoh sederhananya adalah Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-Ilir. Jika Islam pada masa itu, yang hadir ketika ajaran Hindu-Budha masih mengakar sangat kuat, disebarkan secara mentah-mentah melalui penyampaian syariat dengan mengatakan “ini boleh” atau “itu haram”, mungkin sama halnya menjadi tindakan bunuh diri.
Akan tetapi, Sunan Kalijaga dapat dengan cerdik menyampaikan sebuah gagasan dakwah tanpa harus berbenturan dengan ajaran Hindu-Budha. Lagu Lir-Ilir adalah suatu tembang dolanan, yaitu tembang yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak sebagai media bermain. Akan tetapi, tembang tersebut juga diterima di kalangan dewasa dan tingkatan umur lainnya. Bahkan, hingga saat ini, tembang tersebut masih bertahan di tengah gempuran zaman.
Melalui Lir-Ilir, Sunan Kalijaga menyampaikan makna keislaman yang terselubung di setiap celah baitnya. Tembang tersebut, walaupun dari luar hanya tampak seperti lagu berbahasa Jawa biasa, menyimpan makna tentang rukun Islam, muhasabah, pertaubatan, dan persiapan hidup sebelum ajal (Khasanah, 2022).
Jika Sunan Kalijaga dengan segala kesederhanaan di era itu berhasil menyebarkan Islam secara luas melalui alih wahana, mengapa kita tidak?
Alih wahana pada masa ini, alih-alih memindahkan ajaran Islam kepada media seni lainnya, akan lebih mudah jika memanfaatkan teknologi digital. Di luar bidang dakwah, metode seperti telah menunjukkan banyak keberhasilan.
Pengalihwahanaan novel ke film, manga ke anime, atau cerpen ke film pendek, sudah menjadi hal yang masif dilakukan. Bumi Manusia, salah satu mahakarya terbesar Pramoedya Ananta Toer, adalah salah satu contohnya.
Jika Anda ingin tahu seberapa besar pengaruh alih wahana terhadap menyebarluasnya Bumi Manusia, bandingkan saja antara berapa banyak eksemplar buku fisiknya dengan tiket filmnya yang terjual.
Selama tahun pertama penerbitan Bumi Manusia pada 1980, Hasta Mitra selaku penerbit berhasil menjual novel tersebut sebanyak 10.000 eksemplar. Hingga saat ini, Bumi Manusia menjadi saah satu novel Indonesia terlaris dengan angka penjualan lebih dari 500.000 eksemplar. Tentu angka yang sangat fantastis.
Akan tetapi, jumlah tersebut ternyata belum ada apa-apanya dibandingkan versi film. Bayangkan saja, baru dua minggu tayang di bioskop, Bumi Manusia berhasil menembus satu juta penonton dan langsung naik ke posisi sembilan film Indonesia terlaris tahun 2019. Coba bandingkan, satu tahun dengan dua minggu dan 500.000 dengan 1.000.000. Jika bukan karena alih wahana, mana mungkin perbandingannya bisa sejauh itu.
Tentunya dakwah Islam juga harus optimis bisa mencapai keberhasilan serupa. Mungkin bisa berawal dari hal kecil terlebih dahulu dengan memperlakukan teknologi bukan sebagai “setan” yang mutlak harus dijauhi karena mudharatnya. Akan tetapi, teknologi pasti banyak memberikan manfaat jika digunakan secara bijak. Reels Instagram dan siraman rohani WhatsApp bisa menjadi contohnya.
Contoh lain lagi, mungkin jika Anda adalah seorang penceramah, maqolah yang Anda sampaikan hanya akan didengar oleh jemaah dalam suatu majelis dengan jumlah yang terbatas. Itu pun harus menghadapi sebuah tantangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Namun, jika Anda mengalihwahanakan ceramah ke dalam bentuk reels atau pesan singkat WhatsApp, umur maqolah Anda akan semakin lama dan bisa menjangkau lebih banyak khalayak. Selain itu, jejak digital juga bisa membuat khalayak mempelajarinya secara berulang-ulang sehingga apa yang ditangkap oleh kuping kanan kemudian langsung bablas keluar dari sisi lainnya dapat diminimalisir.
Selain itu, digitalisasi seperti contoh di atas juga lebih efektif dan efisien. Contoh simpelnya bisa dilihat dari majelis-majelis pengajian. Mendatangi majelis pengajian yang jaraknya sangat jauh tentu menjadi satu halangan tersendiri. Kita harus menempuh jarak yang sebegitu jauhnya untuk sampai ke sana. Belum lagi biaya dan risiko selama perjalanan.
Akan tetapi, jika pihak penyelenggara juga menyelenggarakan majelis pengajian tersebut lewat siaran langsung di YouTube, tentu akan menjadi sebuah keuntungan bersama. Di satu sisi, penyelenggara akan menjangkau jemaah yang lebih banyak. Di sisi yang lain, kita hanya tinggal duduk manis di rumah, menyiapkan kuota internet yang cukup, memakai pakaian yang sopan, hingga akhirnya bisa mengikuti majelis tersebut tanpa harus menginjakkan kaki jauh-jauh.
Selain itu, alih wahana lewat reels, short, ataupun video-video pendek lainnya yang eksis di media sosial juga memperlihatkan potensi yang besar untuk dakwah. Fenomena yang umum terjadi adalah sebuah video ceramah dipotong sedemikian rupa sehingga hanya menampilkan bagian tertentu saja. Seringkali hanya bagian lucu yang ditampilkan.
Tentu, jika video-video pendek itu dijadikan rujukan dalam beragama, rasanya sangat kurang sekali. Akan tetapi, video seperti itu bisa mengambil peran lainnya, yaitu sebagai media promosi. Banyak sekali anak muda zaman sekarang, tidak hanya dari kalangan santri, yang menyukai penceramah-penceramah lucu yang video pendeknya sering berseliweran di media sosial. Dari situ, mereka akan tergerak untuk mencari lebih dalam lagi siapa penceramah itu dan pada akhirnya tidak menutup kemungkinan mereka bisa mendengar kajiannya yang lebih utuh.
Pada akhirnya, jika dirangkul dengan baik, teknologi dapat menjadi senjata yang ampuh bagi penyebaran ajaran Islam. Jika Sunan Kalijaga dan para wali mampu memanfaatkannya, tentunya dengan kemodernan seperti sekarang ini, kita harus lebih mampu lagi. Dan untuk masa depan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, memasang fondasi sejak hari ini adalah langkah yang tepat.
Rujukan:
Ema Fidiatun Khasanah, Y. I. (2022). Nilai-Nilai Keislaman pada Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga. Jurnal Pendidikan Islam dan Isu-isu Sosial, 13-25.
Lukluk Ainiyah, K. H. (2019). Analisis Makna Religiusitas dan Makna dalam Tembang Pangkur Sunan Drajat. Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra, 81-92.
Nasional, R. S. (2024, November 8). Lifestyle. Retrieved from SuaraNasional.id: https://www.suaranasional.id/2024/11/5-novel-terlaris-di-indonesia-sepanjang-masa-berikut-angka-penjualannya.html
Ummah, S. R. (2024). HARMONI WARNA DAKWAH: Merunut Jejak Seni sebagai Medium Dakwah yang Abadi. Jurnal Dakwah dan Komunikasi Fahmuna, 33-48.