Orang Indonesia, khususnya yang tinggal dan dibesarkan di Jawa-Bali, nampaknya tidak asing lagi dengan kisah Ramayana. Bagi mereka yang pernah mengalami tahun-tahun 1990-an ke belakang umumnya juga akrab dengan pagelaran wayang semalam suntuk yang kadang lakonnya mengambil dari kisah Ramayana.
Rama-Sinta, dua tokoh dalam kisah tersebut, menjadi ikon cinta sejati yang suka disematkan dalam kisah-kisah percintaan. Versi ceritanya pun menjadi semakin beragam. Ada banyak versi yang terus bermunculan dengan didasarkan pada interpretasi yang berbeda-beda.
Misalnya saja yang mengisahkan bagian akhir cerita tersebut; ada versi yang mengisahkan Sinta menolak kembali ke pelukan Rama setelah Rama meragukan kesuciannya saat menguji Sinta untuk masuk ke api pembakaran. Namun, ada juga versi yang mengisahkan Sinta kembali bersatu dengan Rama meskipun Rama menguji kesuciannya dengan upacara obong yang menyesakkan.
Belum lagi interpretasi tentang sosok Rahwana yang tak kalah beragam. Ada yang menggambarkan sosoknya sebagai raksasa mengerikan yang merepresentasikan kejahatan dunia. Ada pula yang menggambarkan Rahwana sebagai sosok yang lebih lembut dibandingkan yang selama ini dikenal oleh banyak orang.
Selain terus diceritakan kembali dalam bentuk cerita pendek atau novel, kisah Ramayana ini juga dialihwahanakan dalam berbagai bentuk seperti serial televisi, sendratari, serial wayang wong, dan lain sebagainya.
Novel Anak Bajang Menggiring Angin yang ditulis Sindhunata dan terbit pertama kali pada 1983 ini juga mengisahkan kembali cerita Ramayana dengan versi interpretasi yang cukup unik. Selain menceritakan alur seperti yang biasa kita kenal selama ini, narasi Sindhunata penuh dengan nilai-nilai filosofis dan petuah-petuah kebijaksanaan yang disarikan dari tokoh-tokoh dalam Ramayana tersebut.
Novel setebal 487 halaman ini merangkum bagaimana kejahatan lahir dalam bentuk Rahwana dan bagaimana kebaikan menghancurkannya dalam pimpinan Rama. Novel ini terdiri dari delapan bagian yang diawali dengan bagaimana kelahiran Rahwana beserta tiga saudaranya: Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana dari kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa memahami Sastra Jendra, sebuah ilmu rahasia yang menguak tabir Ilahi. Alih-alih mendapatkan kesempurnaan hidup, Sukesi dan Wisrawa justru tenggelam ke dalam kenistaan yang tidak pernah mereka bayangkan sampai melahirkan empat anak yang menjadi perwujudan nafsunya.