Indonesia adalah negara seribu budaya dan suku dengan bermacam rupa keragaman yang dimiliki. Indonesia kaya akan warisan cerita rakyat dari para leluhur yang disebarkan dari mulut ke mulut dan masih eksis hingga sekarang.
Maling Kundang contohnya, cerita tak tertulis, namun dikenal hampir semua masyarakat Indonesia. Banyak pula saksi-saksi bisu sejarah yang masih terawat hingga kini, seperti beberapa cagar budaya, candi-candi, prasasti, pun saksi sejarah yang berupa tulisan.
Warisan-warisan tulisan itu sangatlah berharga. Ada babad dan kitab sejarah lain yang dengan epik menceritakan kisah-kisah masa lalu. Kisah yang termuat juga beragam. Terkadang kisah itu berisi asal-usul sebuah tempat, berisi ajaran agama atau perintah kebaikan, menceritakan kesaktian seseorang, atau mengisahkan kejayaan sebuah pemerintahan.
Indonesia memiliki semua kisah-kisah tersebut. Lazimnya, jika di daerah Jawa, maka tulisan-tulisan itu akan ditulis dengan aksara Jawa. Pun, jika ditulis di daerah lain, biasanya akan disesuaikan dengan aksara yang digunakan di daerah tempat penulisan tesebut.
Di Museum Kambang Putih Tuban, misalnya. Museum yang terletak tidak jauh dari alun-alun Tuban ini menyimpan beberapa buah manuskrip atau naskah kuno berbahasa dan beraksara Jawa. Tuban menjadi salah satu kota di Jawa Timur yang ikut andil memiliki aksara jawa. Namun, pengunjung tak bisa melihat manuskrip itu di etalase museum, karena manuskrip tersebut disimpan di bagian ruang kontrol.
Namun ternyata, Indonesia tak hanya kaya akan budaya sendiri tapi juga menyimpan sisa sejarah lampau berbentuk naskah dari perkembangan pengetahuan keagamaan lintas negara. Naskah ini memiliki judul Anāṣir al-Shahādatayn yang jika diartikan menjadi “Unsur-Unsur Dua Syahadat”. Naskah ini dimiliki oleh seseorang bernama Sutiyono Abdullah yang berdomisili di Mlatinorowito, Kudus.
Menurut penuturannya, kitab ini ditemukan dalam atap sebuah rumah ketika pemiliknya hendak merenovasi. Kitab ini akhirnya diserahkan pada Sutiyono sebagai tokoh masyarakat di sana untuk disimpan. Adapun alamat rumah tempat naskah ini ditemukan berada di Rt. 01 Rw. 02, Kelurahan Mlatinorowito Kecamatan Kudus, Kudus, Jawa Tengah.
Sesuatu yang unik dari naskah kitab ini adalah jenis font yang digunakan untuk menulis, yakni khat farisi yang biasanya jarang sekali digunakan dalam penulisan kitab, kecuali untuk penulisan judul atau sekadar keterangan tambahan di bagian cover kitab.
Khat jenis ini muncul sekitar abad ke-7 M dan mulai populer digunakan pada abad ke-11-13 M. Nama Farisi sendiri adalah sebuah nisbat yang ditujukan pada asal daerah khat itu muncul, yakni Fāris, yang dapat diartikan negara Parsi atau Persia.
Menurut Dr Muhammad Tahir Kurdi, Persia atau Parsi adalah salah satu bahasa yang menggunakan kaligrafi Arab dalam penggunaannya. Bentuk hurufnya sama dengan aksara hijaiyah, namun memiliki beberapa karakteristik tersendiri, seperti پ :(pa), merepresentasikan bunyi p, چ : (ca), merepresentasikan bunyi c, ژ : (jha), merepresentasikan bunyi jh atau ja seperti campuran bunyi j, z, dan h, serta گ : (gaf) yang merepresentasikan bunyi g, berbeda dengan pengucapan huruf غ.
Cover bagian depan kitab dihiasi dengan iluminasi berupa gambar jalinan bunga disekeliling luar tulisan. Juga motif anyaman di bagian belakang judul yang menyerupai anyaman ketupat. Cover ini dihiasi dua macam gaya penulisan khat, yakni tsulust untuk tulisan ‘māshāallāhu lā quwwata illā billāhi’ dan tulisan ‘maṭba’ fakhr al-maṭābi’ wāqi’ likahinū maṭbū’ kardī’; serta khat farisi sendiri untuk penulisan judul Anāṣir al-Shahādatayn serta keterangan kecil sebagaimana terdapat dalam kolofon.
Secara ukuran, naskah kitab ini memiliki panjang + 24,7 cm dan lebar 15 cm dengan tebal sekitar 2 cm terdiri dari 328 halaman. Adapun batas pinggir bagian cover dan isi agak berbeda. Margin atas, bawah, kiri, kanan cover masing-masing terdiri dari 2,1 cm; 2,3 cm; 0,4 cm; dan 1,7 cm. Sedangkan margin atas, bawah, kiri, dan kanan bagian isi masing-masing 2 cm; 2,5 cm; 2 cm; dan 1 cm. Ukuran font-nya sendiri + 0,7 cm.
Jumlah bab pembahasan dalam kitab ini mencapai 173 bab dengan mengecualikan daftar isi, sambutan, latar belakang penulisan, dan penutup. Adanya pergantian pembahasan atau awal bab dapat dilihat dari keterangan di bagian atas garis pembatas isi, bagian kiri atau kanan yang bersebelahan dengan judul kitab.
Kemudan penulisan angka dalam penomoran halaman memiliki kemiripan dengan penulisan angka pada mushaf Al-Qur`an versi Mumbai, India. Sedangkan, umur naskah ini diperkirakan mencapai umur 120 tahun, dihitung dari keterangan dalam kolofon yang menunjukkan keterangan bulan Sya’ban, tahun 1321 H. Tahun 1321 H tersebut jika dikonversikan ke dalam tahun Masehi, maka bertepatan dengan tahun 1903.
Pengarang kitab ini diasumsikan sebagai Faqīr Muḥammad Nāśir ‘Alī ibn Shaykh Ḥudayd ‘Alī Marḥūm Ghiyāth yang tersebut dalam mukadimah. Kitab ini berisi syair-syair dan keterangan dalam bentuk paragraf yang sebagian besar menyebut nama Sayyidina Hasan dan Husain, pun menyinggung peristiwa Karbala dimana Sayyidina Husain wafat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penulis adalah penggemar atau pengabdi Sayyidina Hasan dan Husain yang juga berarti bahwa ia termasuk golongan penganut Syi’ah. Selain itu, jika dilihat dari asal naskah ini hadir, yakni Persia yang sekarang menjadi Iran, menjadi salah satu basis pergerakan Syi’ah, barisan pendukung Sayyidina Ali, ayah dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain.
Itulah sekilas pembahasan tentang naskah kitab Anāṣir al-Shahādatayn. Bagi para pembaca budiman yang mengetahui naskah-naskah kuno semacamnya, maka akan sangat baik jika Anda merawatnya atau menyerahkannya pada pihak yang berwenang.