Siapa yang tak kenal dengan sosok Prof M Amin Abdullah dari kalangan akademisi, khususnya penggiat studi agama dan studi Islam? Amin Abdullah merupakan guru besar filsafat Islam dan Studi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sepanjang kariernya sebagai intelektual, Amin Abdullah dikenal begitu menekuni studi keagamaan dan filsafat. Amin Abdullah juga dikenal sudah sejak lama menyuarakan tentang pemahaman terhadap kajian Islam yang masih terjebak dalam normativitas yang mengakibatkan kejumudan dan stagnansi pemikiran sehingga tidak bisa berdialog dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar.
Pemikiran-pemikirannya itu kemudian ia tuangkan ke dalam sejumlah buku dalam kajian Islam. Contohnya, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (1995), Falsafah Kalam di Era Postmodernitas (1996), dan Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (2006) .
Terbaru, Amin Abdullah menerbitkan buku yang senapas, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (2021). Ini seperti menjadi konklusi dari buku-buku Amin Abdullah sebelumnya yang mencoba untuk mengakhiri pendekatan monodisiplin atau linearitas dalam kajian agama atau kajian Islam.
Dalam buku ini, Amin Abdullah seakan menegaskan akan pentingnya pendekatan yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin untuk mengakhiri linearitas ilmu yang bersifat monodisiplin.
Di bagi ke dalam enam bagian, buku ini diawali dengan penjelasan tentang arah baru dalam metodologi studi Islam. Premisnya didasarkan pada perubahan yang terjadi akibat globalisasi yang mengakibatkan perubahan dalam segala dimensi kehidupan, salah satunya ilmu pengetahuan, di dalamnya termasuk pola pikir manusia dan pandangan keagamaan.
Perubahan ini harus direspons dengan baik untuk menjaga harkat martabbat manusia dan perjumapaan antar-umat manusia yang lebih harmonis. Para pemikir muslim juga harus menggunakan epistimologi pengetahuan modern (pemikir orientalis) untuk membangun pemikiran Islam yang lebih zamkany, seseuai dengan tuntutan zaman dan kesetempatan.
Zaman menuntut tidak lagi menggunakan model linearitas disiplin ilmu dalam memahami studi Islam, melainkan menggunakan model integrasi-interkoneksi dengan dipadukan dengan cara pikir metode sains modern, social science, dan humanities atau dengan kata lain mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma ulum al-diin, al-fikr al-islamy, dan dirasat Islamiyah (hal. 1-27).
Cara mempertautkan ulum al-diin, al-fikr al-islamy, dan dirasat Islamiyah itu kemudian dielaborasi ke dalam bagian kedua. Di sini ditegaskan bahwa ulum al diin merupakan studi agama yang berbasis pada teks atau nash keagamaan (bahasa). Pemahaman ulum al diin harus dilakukan dengan melibatkan pergumulan humanitas pemikiran keislaman berbasis rasio atau intelek disebut al-fikr al-islamy. Sedangkan, dirasat islamiyah ialah kluster keilmuan baru yang berbasis pada kritik dan komparasi dengan disiplin ilmu lain atau memahami ulum al-diin dan al-fikr al-islamy dengan kritis dan komparatif. Meskipun, ada sebuah kecurigaan bagi kalangan ilum al-diin dan al-fikr al-islamy terhadap munculnya sebuah klaster baru, yaitu dirasat islamiyah dengan alasan bahwa ketiganya ialah memiliki tatanan sendiri-sendiri alias tidak bisa dipadukan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, saat ini perpaduan terhadap ketiganya sangat diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yang begitu kompleks. Langkah yang diperlukan ialah tidak saling menaruh curiga satu sama lain dan harus menjelaskan pola keterhubungan antara ketiganya dengan sudut pandang, metode, pendekatan, dan pengambilan serta pengumpulan data harus seimbang (hal 29-114).
Bagian ketiga buku 368 halaman ini membahas perihal multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin sebagai metode riset dan pembelajaran agama di era kontemporer. Di sini Amin Abdullah menjelaskan tentang berakhirnya pembelajaran monodisiplin atau linearitas dalam memahami studi agama sebagaimana yang diungkapkan di bagian sebelumnya; ketiganya harus dipahami dengan secara bersama-sama, yaitu dengan model multi, inter, dan transdisipilin yang merupakan metode riset dan pembelajaran agama di era kontemporer.
Bab ini merupakan salah satu inti dari gagasan yang disampaikan oleh Amin Abdullah. Cara untuk mendialogkannya (agama, sains, dan filsafat) ialah dengan semipermeable (saling menembus), keterujian intersubjektif, dan imaginasi kreatif. Model riset ataupun pembelajaran studi agama di era kontemporer ini akan menghasilkan sebuah pemahaman yang komprehensif sehingga menghasilkan solusi lebih jitu dengan catatan semua pihak harus saling duduk bersama dalam membahas suatu persoalan (hal.115-158).
Pada bagian keempat, Amin Abdullah mengelaborasi pembaruan metode studi Islam multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Pembahasan ini dimulai dengan mengambil konteks problem pola pikir keagamaan Islam di Indonesia. Misalnya, persoalan Islam yang tak sejalan dengan demokrasi, Pancasila harus diganti Khilafah, polisi yang dikatakan toghut. Juga munculnya sikap saling mengkafirkan satu sama lain lantaran berbeda kelompok yang tak sepaham, seakidah, dan apalagi yang tidak seagama.
Menurut analisisnya, hal ini didasari karena masuknya ideologi Islamis atau ideologi takfir yang tidak mau berdiskusi dengan perkembangan keilmuan baru sehingga gampang membidahkan dan mengkafirkan kelompok lain. Selanjutnya, Amin Abdullah tidak menutup mata terkait perkembangan ilmu yang terjadi dalam kehidupan tanah air, yaitu pendekatan studi filsafat keilmuan Islam yang harus berbasis nilai, peradaban, strategi keilmuan, dan pembaruan pemikiran Islam, dan lain sebagainya (hal 159-260).
Pada bagian kelima, Amin Abdullah menawarkan pendekatan irfany dalam multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin keilmuan. Menurutnya, selama ini tradisi berpikir irfany tidak begitu dikembangkan atau dieksplor dibandingkan dengan tradisi berpikir bayany dan burhany. Amin Abdullah juga menyuguhkan seupuluh kata kunci dalam mengembangkan budaya pikir irfany dalam pendekaran multi, inter, dan transdisiplin, yaitu : memperkuat literasi multikultural, mengenali multiple identities dalam diri sendiri dan orang lain, menjauhi sikap prejudice (berburuk sangka), berpikir tingkat tinggi (HOTs), membangun keseimbangan scientific skill dan humanistic thought, mendengarkan suara hati dan menghindari moral monism, tidak terjebak pada adagium we have religion, but no spirituality, hubbu al-Allah dan hubbu al-Jaar, berbasis etika di atas teologi dan metafisika, dan memperbanyak ruang-ruang perjumpaan (hal 261-310).
Pada bagian kelima sebagai penutup, buku ini juga menyajikan percobaan studi Islam pasca- Covid-19: mengenai multi, inter, dan transdisiplin. Ketegangan logika agama dan logika sains mulai muncul dalam hal ini karena dua hal tersebut berjalan sendiri dalam hal peristuwa pandemi Covid-19 sehingga muncul pernyataan bahwa jangan takut Covid-19, tapi hanya takutlah kepada Allah. Sehingga, dalam hal ini pasca-Covid-19 sangatlah dibutuhkan pemahaman multi, inter, dan transdisiplin dalam mengatasi segala persoalan yang terjadi. Karena, jika hanya dipahami dengan monodisplin akan melahirkan wawasan yang sempit dan tidak mampu menjawab persoalan yang semakin kompleks (hal 311-325).
Buku ini diikhtiarkan sebagai solusi bagi persoalan yang menimpa bangsa Indonesia yang semakin kompleks. Di mana saat ini dibutuhkan yang namanya multi, inter, dan transdisiplin dalam mengatasi berbagai persoalan terutamanya dalam persoalan yang terjadi dunia keagamaan. Buku layak untuk dicoba dalam menjalani kehidupan ini. Akan tetapi, buku ini masih hanya sebatas kerangka teoretis, bukan kepada ranah praktis. Sebab apa yang ada dalam teori terkadang tidak sesuai dengan yang sedang terjadi atau dalam praktiknya.
Data Buku
Judul : Multidisiplin, Transdisilin, dan Transdisiplin (Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer).
Penulis : M Amin Adullah
Editor : Azaki Khoiruddin
Tahun Terbit : Cetakan III Februari 2021
Penerbit : IB Pustaka PT Litera Cahaya Bangsa
Nomor ISBN : 978-623-91744-2-2
Isi : 368 Halaman.