“Cinta adalah kekuatan terkuat di dalam kehidupan,” begitu pesan Mahatma Gandhi yang tentunya memberikan gambaran bahwa kehidupan ini akan menjadi lebih indah, adem, ayem, tentrem kalau dibarengi dengan cinta.
Pesan Nabi terkait cinta dan keindahan adalah Tuhan itu Maha Indah, dan menyukai sesuatu yang indah. Begitu juga multikultur dan kemajemukan yang ada di dalam kehidupan ini. Keberagaman ini tidak lepas dari anugerah-Nya, untuk saling kenal dan saling hormat satu dengan lainnya.
Gus Dur menjelaskan bahwa “Peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya adalah bagian dari umat manusia dan alam semesta.” Di mana hal ini tentu berkaitan dengan keragaman agama, suku, budaya dan bangsa. Terlebih di negara Pancasila ini.
Artinya, kehidupan yang multikultur seyogyanya menjadi bagian dari spirit kehidupan beragama dalam rangka menjaga semangat kemanusiaan antara satu dengan lainnya. Seperti halnya ajaran tasammuh dalam konsep aswaja manhaj al-diniyah wal fikr. Karena dalam menentukan cara berpikir, perlu adanya proses empiris antara ajaran dan fakta sosial. Agama sebagai agemaning urip, sebagai proses syariat keimanan seseorang, sedangkan manhaj al-fikr atau metode berpikir adalah proses bagaimana mengolah cara, sudut dan jarak pandang dalam melihat kondisi sosial kemanusiaan.
Hal ini penulis temui saat nderek nimbrung di Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Sumbermanjing Wetan Malang, Jawa Timur. Saya melihat bahwa MWC NU Sumbermanjing memiliki keunikan secara tata letak, di mana letaknya tepat di pojok pertigaan jalan menuju Pantai Sendang Biru dan Desa Klepu. Sehingga layak, jika MWC NU Sumbermanjing atau dikenal dengan Akronim “Sumawe” itu menjadi tampat jujugan.
Di halaman kantor yang luas terdapat satu taman yang dipenuhi dengan bunga dan tanaman hias lainnya. Namun ada yang tak biasa di sana: arca seorang wanita yang dihadapkan ke timur, menghadap kantor sekretariat MWC NU. Arca tersebut masih dalam tahap konfirmasi kepada Prof Dwi Cahyono, sejarawan dan arkeolog. Saya mencoba menghubungi beliau via telepon dan memberitahukan terkait arca tersebut. Setelah bercerita panjang lebar, beliau mengatakan bahwa arca itu kemungkinan arca Dewi Parwati.
Lain dari pada itu, cerita tentang arca tersebut, menurut Ustaz Holli Amir, selaku Sekretaris MWC NU Sumawe saat ini, bahwa arca tersebut ditemukan oleh seorang yang bernama Pak Tabri. Arca tersebut ditemukan di sungai di Desa Sumbermanjing Wetan. Awalnya arca tersebut ditaruh di balai desa. Karena kondisinya yang mangkrak dan tidak terawat akhirnya ditaruhlah di MWC NU Sumbermanjing Wetan.
Tentu ini menjadi satu langkah bijak yang bisa dimaknai akan pentingnya saling menghargai dan menghormati. Arca tersebut bukan hanya sebagai hiasan di taman, tetapi juga menjadi upaya untuk konservasi warisan sejarah. Pengetahuan yang bermanfaat adalah pengetahuan yang diamalkan, dipraktikkan. Ketika pengetahuan tentang tasammuh itu dipelajari dan dipahami, maka akan menjadi lebih bermanfaat jika dipersinggungkan dengan realitas atau fakta sosial.
Keberagamaan dan keberagaman adalah fakta sosial yang terjadi. Bahwa di Nusantara ini sangat beragam agamanya, sukunya, budayanya, dan bangsanya. Oleh sebab itu, terlepas dari hukum syariatnya, bahwa arca yang ada di Taman MWC NU Sumbermanjing menyimpan sejarah yang patut diulik dan dihormati keberadaannya. Perkara iman, hal ini kembali kepada masalah personal, namun perkara menghormati keberagaman adalah bagian dari upaya menjaga kemanusiaan dan cinta itu sendiri.
Dalam ajaran Hindu, Dewi Parwati diyakini sebagai Cakti, atau bagian dari Siwa. Kalau Siwa adalah Energi maka Parwati adalah Kekuatan yang mendorong terciptanya kreativitas yang maksimal. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa Dewi Parwati adalah kisah cinta sang Siwa. Ia adalah Inkarnasi Dewi Sati yang mana juga menjadi inkarnasi dari Dewi Shakti permaisuri Dewa Siwa.
Terlepas dari kisah Dewa Siwa dan Dewi Parwati, apa yang penulis temui, peristiwa yang terjadi, yaitu terkait adanya Arca di Depan Gedung MWC NU Sumbermanjing Wetan adalah bukti bahwa proses tasammuh itu berlangsung, dalam hal apapun. Karena praktik kasih sayang sesama manusia lebih sulit dari pada proses mempelajari kasih sayang itu sendiri. Islam rahmatan lil’alamin adalah Islam yang menebar kasih sayang sesama manusia terlepas agamanya apa. Bisa jadi, semangat kasih sayang inilah yang juga oleh Gus Dur disebarluaskan melalui semangat humanisme dan pluralismenya. Bahwa di Bali, beliau juga diabadikan menjadi nama sebuah rumah suci di salah satu Ashram Gandhi Puri Sevagram, Kabupaten Klungkung, Bali dengan sebutan “Gus Dur Bhavan”.
Oleh sebab itu yang penulis lihat di MWC NU Sumawe adalah semangat saling menghargai perbedaan itu. Perihal kesahihan Arca Dewi Parwati tersebut perlu adanya penelitian lebih lanjut. Hal ini juga menjadi pesan Prof Dwi bahwa untuk menindaklanjuti dengan pencarian bagian-bagian arca atau puing-puing bata dan lain sebagainya di sungai di mana arca itu ditemukan dulu. Karena jarang sekali di wilayah Malang Selatan ditemukan arca atau bangungan-bangunan bersejarah berupa candi atau sisa kerajaan kuno.
Terlepas dari itu semua, semoga semangat cinta dan kasih menjadi spirit gerakan NU secara umum, Khususnya NU Sumbermanjing Wetan dan menjadi warisan intelektual menuju kehidupan yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, tata tentrem karta raharjha. Wallahu a’lam bi shawab.[]